Rabu, 24 Januari 2018

MEMBUAT DENDENG IKAN

Dendeng ikan adalah produk pangan semi basah yang berkadar air antara 20 sampai 40 %. Dendeng ikan termasuk olahan tradisional yang menggunakan rempah-rempah dalam proses produksinya, dan produknya cukup populer dikalangan masyarakat.
Dendeng Ikan
Dalam pembuatan dendeng, bumbu dan rempah-rempah berguna untuk menghasilkan aroma, rasa yang khas dan daya awet tertentu pada ikan. Bumbu ini juga berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

Jenis ikan sebagai bahan mentah dendeng ikan tidak selektif, bahkan hampir semua jenis ikan dapat dibuat dendeng.

Bumbu dan rempah-rempah yang digunakan adalah garam, gula (gula merah atau gula pasir), bawang merah, bawang putih, jahe, ketumbar, jinten dan lengkuas/laos. Penggunaan rempah dapat dalam bentuk hasil gilingan atau tumbukan halus bersama ampasnya atau dalam bentuk ekstraknya. Ekstrak rempah-rempah dapat dibuat dengan cara membubuhkan air kepada hasil gilingannya kemudian diambil cairan yang mengandung sari rempah-rempah tersebut.

Di pasaran, dendeng ikan dikenal dalam kategori dendeng manis dan dendeng asin, hal ini cara pembuatannya sama, hanya penambahan gula yang berbeda.

PERSIAPAN
1. Bahan Baku Ikan
  • Ikan Kecil seperti tembang, japuh, lemuru udang dan lain-lain ; dibuang sisiknya jika bersisik, potong kepala dan buang isi perut, belah bagian perut hingga membentuk kupu-kupu, buang duri punggung sampai mendekati ekor.
    Ikan Lemuru
  • Ikan besar seperti tongkol, larak/remang, manyung, dll ; ikan diambil bagian dagingnya saja (difillet) kemudian diiris / disayat dengan ukuran sesuai yang dikehendaki.
    Ikan Tongkol
2. Pembuatan Larutan Garam
Larutan garam dibuat dengan konsentrasi 20 %, yaitu 10 liter air untuk melarutkan 2 kg garam. Banyaknya larutan yang digunakan disesuaikan dengan jumlah ikan yang akan diolah, dengan catatan bahwa semua ikan yang akan diolah harus terendam dalam larutan garam.

3. Pembuatan Bumbu
  • Bumbu-bumbu yang akan digunakan dibersihkan, kemudian diambil dengan   Prosentase bumbu berdasarkan berat ikan setelah disiangi dan dicuci.
  • Kemudian bumbu dihaluskan, dan disesuaikan penggunaannya (untuk dendeng keropok/rempah atau dendeng ekstrak).
PROSES PENGOLAHAN
1. Penggaraman
Ikan hasil penyiangan dimasukkan ke dalam larutan garam (20 %) dan direndam selama 15 – 30 menit. Lama penggaraman sangat tergantung dari tingkat keasinan produk yang dikehendaki. Hasil penggaraman ditiriskan beberapa menit, dan ikan siap untuk dibacem.

2. Pembaceman
Lama pembaceman  8  –  16  jam
  • Dendeng bumbu/keropok : Ikan hasil penggaraman yang sudah ditiriskan, ditata dalam wadah dengan bagian kulit menghadap keatas. Kemudian taburi dengan bumbu, demikian seterusnya berlapis-lapis antara ikan dan bumbu. Bagian teratas diberi penutup dan pemberat.

  • Dendeng ekstrak : Cara pembaceman sama seperti di atas, tetapi bumbu yang digunakan berupa ekstrak bumbu yang mengandung gula dan penambahannya juga sama berlapis-lapis dengan ikan.
3. Pengeringan
  • Ikan hasil pembaceman ditata di atas para-para dengan bagian tidak berkulit mengahadap ke atas.
  • Untuk dendeng bumbu keropok, setelah pembaceman dan ditata di atas para-para ditaburi dengan ketumbar halus.
  • Lama penjemuran 12 jam,  jika panas terik ; 8 jam hari pertama dan 4 jam hari berikutnya.
  • Hasil penjemuran dibiarkan dingin sebelum dikemas.

Sumber : Materi Pengolahan Ikan BPPP Tegal

Selasa, 23 Januari 2018

PEMBENIHAN IKAN BANDENG


Bandeng -
1. PENDAHULUAN
Benih bandeng (nener) merupakan salah satu sarana produksi yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak. Perkembangan Teknologi budidaya bandeng di tambakdirasakan sangat lambat dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan salah satu kendala dalam menigkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Tanpa mengabaikan arti penting dalam pelestarian alam, pengembangan wilayah, penyediian dukungan terhadap pembangunan perikanan khususnya dan pembangunan nasional umumnya, kegiatan pembenihan bandeng di hatchery harus diarahkan untuk tidak menjadi penyaing bagi kegiatan penangkapan nener di alam. Diharapkan produksi benih nener di hatchery diarahkan untuk mengimbangi selisih antara permintaan yang terus meningkat dan pasok penangkapan di alam yang diduga akan menurun.
2. PENGERTIAN
Teknologi produksi benih di hatchery telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap (HL) maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Produksi nener di hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karenaresiko kecil, biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di daerah miskin sebagai salah satu upaya penaggulangan kemiskinan bila dikaitkan dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang bermutu serta tepat musim, jumlah dan harga. Usaha pembenihan bandeng di hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian sumberdaya baik melalui penurunan terhadap penyian-nyian sumber daya benih species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui penebaran di perairan pantai (restocking). Disisi lain, perkembangan hatchery bandeng di kawasan pantai dapat dijadikan titk tumbuh kegiatan ekonomi dalam rangka pengembangan wilayah dan penyerapan tenaga kerja yang mengarah pada pembangunan berwawasan lingkungan. Pada giliranya, tenaga yang terserap di hatchery itu sendiri selain berlaku sebagai produsen juga berlaku sebagai kondumen bagi kebutuhan kegiatan sehari-hari yang dapat mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hatchery.
3. PERSYARATAN LOKASI
Pemilihan tempat perbenihan bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai berikut.
  1. Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan jelas sebelum hatchery dibangun.
  2. Mampu menjamin ketrsediaan air dan pengairan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan;
  • Pergantian air minimal; 200 % per hari.
  • Suhu air, 26,5-31,0 0 C.
  • PH; 6,5-8,5.
  • Oksigen larut; 3,0-8,5 ppm.
  • Alkalinitas 50-500ppm.
  • Kecerahan 20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran).
  • Air terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik.
  1. Sifat-sifat perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu diketahui secara rinci.
  2. Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai makanan, speciesdominan, keberadaan predator dan kompretitor, serta penyakit endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses produksi.
4. SARANA DAN PRASARANA
  1. Sarana Pokok
    Fasilitas pokok yang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan inkubasi telur serta bak pakan alami.
    1. Bak Penampungan Air Tawar dan Air Laut.
      Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut, tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur
      menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air tawar, air laut dan udara.
    2. Bak Pemeliharaan Induk
      Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
    3. Bak Pemeliharan Telur
      Bak perawatan telur terbuat dari akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir telur pada kepadatan 10.000 butir per liter.
    4. Bak Pemeliharaan Larva
      Bak pemeliharaan larva yang berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi penutup berupa terval plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan bentangan kayu/bambu.
      Gambar 1. Bak Pemeliharaan Larva
    5. Bak Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera.
      Bak kultur plankton chlorella sp disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari pengaruh air hujan. Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6 m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m 3 . Bak kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi baton yang ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1.
  2. Sarana Penunjang Untuk menunjang perbenihan sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang packking, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang (ruang pentimpanan barang-barang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan kerja.
    1. Laboratorium pakan alami seperti laboratorium fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0 C.
    2. Laboratorium kering termasuk laboratorium kimia/mikrobialogi, sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu sekitar 22~25 0 C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi dengan pasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang pendingin dan gudang.
  3. Sarana Pelengkap
    Sarana pelengkap dalam kegiatan perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal staf dan karyawan.
5. TEKNIK PEMELIHARAN
  1. Persiapan Opersional.
    1. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan higienis, siap dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan atau dicuci dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari. Pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1 m 3 air) dan didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yi formalin 50 ppm. Menyiapkan suku cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi kerusakan pada saat proses produksi.
    2. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan mutu untuk tiap tahap pembenihan.
    3. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil, disiplin dan berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya.
  2. Pengadaan Induk.
    1. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor.
    2. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah (10~15)ppt, serta suhu 24~25 0 C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0 C.
    3. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari 18 jam, 5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
    4. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
  3. Pemeliharaan Induk
    1. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan satu ekor per 2~4 m 3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi aerasi sampai kedalaman 2 meter.
    2. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan disiphon setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
    3. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan masa sore.
    4. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm, amoniak < 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH; 7~85 suhu 27~33 0 C.
  4. Pemilihan Induk
    1. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara 55~60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
    2. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara mem-bius ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah kanula dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk induk jantan.
    3. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
    4. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
  5. Pematangan Gonad
    1. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH –a, 17 alpha methiltestoteron dan HCG.
    2. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masing-masing dengan dosis 100~200 mikron per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).
  6. Pemijahan Alami.
    1. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan “diffuser” sampai dasar bak serta ditutup dengan jaring.
    2. Pergantian air minimal 150 % setiap hari.
    3. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air.
    4. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi terjadi secara eksternal.
  7. Pemijahan Buatan.
    1. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad sedang hormon berbentuk padat diberikan setiap bulan (implantasi).
    2. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali implantasi tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk implantasi biasanya LHRH –a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis masing-masing 100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya).
    3. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat tiga dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis 5.000-10.000IU per Kg berat tubuh.
    4. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring dihindarkan dari kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat keluar tangki.
  8. Penanganan Telur.
    1. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna transparan, mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan tenggelam dan berwarna putih keruh.
    2. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup hingga telur pada tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi dihentikan. Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke dalam bak penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak penetasan antara 20-30 butir per liter.
    3. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindarkan benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan.
    4. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur yang menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan telur dari bakteri, penyakit dan parasit.
  9. Pemeliharaan Larva.
    1. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran, suhu 27-31 0 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
    2. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener.
    3. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen.
    4. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan pada kisaran optimal.
    5. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran panjang 12-16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa.
  10. Pemberian Makanan Alami
    1. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit.
    2. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10 ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10 hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer : larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas.
    3. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari (Lampiran VIII.2). Sedangkan penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung dari kesediaan makanan alami yang ada.
    4. Perbandingan yang baik antara pakan alami dan pakan buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel. Pakan buatan yang diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva pada tiap tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan komersial yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan larva bandeng.
  11. Budidaya Chlorella
    Kepadatan chlorella yang dihasilkan harus mampu mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan dengan ratio volume yang digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan chlorella skala kecil menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume 3-10 liter yang berada dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0 C, sedangkan untuk skala besar menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan di luar ruangan sehingga langsung dengan kepadatan ± 10 juta sel/m3. Panen chlorella dilakukan dengan cara memompa, dialirkan ke tangki-tangki pemeliharaan rotifera dan larva bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa benam (submersible) untuk menjamin aliran yang sempurna. Pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta saringan yang bermata jaring 60-70 mikron, berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatanya per milimeter.
  12. Budidaya Rotifera.
    Budidaya rotifera skala besar (HL) sebaiknya dilakukan dengan cara panen harian yaitu sebagian hasil panen disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial harvest). Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest). Kepadatan awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah. Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan mencemari kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella. Keberhasilan budidaya rotifera berkaitan dengan ketersediaan chlorella atau Tetraselmis yang merupakan makanannya. Sebaiknya perbandingan jumlah chlorella dan rotifer berkisar 100.000 : 1 untuk mempertahankan kepadatan rotifer 100 individu/ml. Pada kasus-kasus tertentu perkembangan populasi rotifer dapat dipacu dengan penambahan air tawar sampai 23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak mencukupi dapat digunakan ragi (yeast) pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen rotifer dilakukan dengan cara membuka saluran pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan tentang perkembangan rotifer dilakukan secara teratur dan berkala serta data hasil pengamatan dicatat untuk mengetahui perkembangan populasi serta cermat dan untuk bahan pertimbangan pemeliharaan berikutnya.
6. PANEN
  1. Panen dan Distribusi Telur.
    Dengan memanfaatkan arus air dalam tangki pemijahan, telur yang telah dibuahi dapat dikumpulkan dalam bak penampungan telur berukuran 1×5,5×0,5 m yang dilengkapi saringan berukuran 40x40x50 cm, biasa disebut egg collector, yang ditempatkan di bawah ujung luar saluran pembuangan. Pemanenan telur dari bak penampungan dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net berukuran mata 200-300 mikron dengan cara diserok. Telur yang terambil dipindahkan ke dalam akuarium volume 30-100 liter, diareasi selama 15-30 menit dan didesinfeksi dengan formalin 40 % pada dosis 10 ppm selama 10-15 menit sebelum diseleksi. Sortasi telur dilakukan dengan cara meningkatkan salinitas air sampai 40 ppt dan menghentikan aerasi. Telur yang baik terapung atau melayang dan yang tidak baik mengendap. Persentasi telur yang baik untuk pemeliharaan selanjutnya harus lebih dari 50 %. Kalau persentasi yang baik kurang dari 50 %, sebaiknya telur dibuang. Telur yang baik hasil sortasi dipindahkan kedalam pemeliharaan larva atau dipersiapkan untuk didistribusikan ke konsumen yang memerlukan dan masih berada pada jarak yang dapat dijangkau sebelum telur menetas ( ± 12 jam).
  2. Distribusi Telur.
    Pengangkutan telur dapat dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik berukuran 40×60 cm, dengan ketebalan 0,05 – 0,08 mm yang diisi air dan oksigen murni dengan perbandingan volume 1:2 dan dipak dalam kotak styrofoam. Makin lama transportasi dilakukan disarankan makin banyak oksigen yang harus ditambahkan. Kepadatan maksimal untuk lama angkut 8 – 16 jam pada suhu air antara 20 – 25 0 C berkisar 7.500-10.000 butir/liter. Suhu air dapat dipertahankan tetap rendah dengan cara menempatkan es dalam kotak di luar kantong plastik. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mencegah telur menetas selama transportasi. Ditempat tujuan, sebelum kantong plastik pengangkut dibuka sebaiknya dilakukan penyamaan suhu air lainnya. Apabila kondisi air dalam kantong dan diluar kantong sama maka telur dapat segera dicurahkan ke luar.
  3. Panen dan Distribusi Nener.
    Pemanenen sebaiknya diawali dengan pengurangan volume air, dalam tangki benih kemudian diikuti dengan menggunakan alat panen yang dapat disesuaikan dengan ukuran nener, memenuhi persyaratan hygienis dan ekonomis. Serok yang digunakan untuk memanen benih harus dibuat dari bahan yang halus dan lunak berukuran mata jaring 0,05 mm (gambar XI.3) supaya tidak melukai nener. Nener tidak perlu diberi pakan sebelum dipanen untuk mencegah penumpukan metabolit yang dapat menghasilkan amoniak dan mengurangi oksigen terlarut secara nyata dalam wadah pengangkutan.
  4. Panen dan Distribusi Induk.
    Panen induk harus diperhatikan kondisi pasang surut air dalam kondisi air surut volume air tambak dikurangi, kemudian diikuti penangkapan dengan alat jaring yang disesuaikan ukuran induk, dilakukan oleh tenaga yang terampil serta cermat. Seser / serok penangkap sebaiknya berukuran mata jaring 1 cm agar tidak melukai induk. Pemindahan induk dari tambak harus menggunakan kantong plastik yang kuat, diberi oksigen serta suhu air dibuat rendah supaya induk tidak luka dan mengurangi stress. Pengangkutan induk dapat menggunakan kantong plastik, serat gelas ukuran 2 m 3 , oksigen murni selama distribusi. Kepadatan induk dalam wadah 10 ekor/m 3 tergantung lama transportasi. Suhu rendah antara 25 – 27 0 C dan salinitas rendah antara 10-15 ppt dapat mengurangi metabolisme dan stress akibat transportasi. Aklimatisasi induk setelah transportasi sangat dianjurkan untuk mempercepat kondisi induk pulih kembali.
7. SUMBER
Pembenihan Bandeng, Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, 1994

Senin, 22 Januari 2018

HAMA DAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA IKAN PATIN


Hama dan penyakit ikan patin sering kali menjadi faktor penyebab kurangnya jumlah tangkapan pada masa panen dalam berternak ikan patin, hal ini tentu saja akan merugikan apalagi jika modal yang sudah diinvestasikan untuk mendukung budidaya ikan tsb memakai dana yang lumayan besar.
1)    Mengenali Jenis-Jenis Hama yang Menyerang Ikan Patin
Hama ikan patin yang biasa mengganggu pada saat pembesaran ikan jika menggunakan media kolam dalam jaring terapung, hampang dan keramba bisanya kebanyakan terdiri dari hewan-hewan yang biasa hidup di air juga seperti : ikan buntal (Tetraodon sp.), udang, seluang (Rasbora). Adapun hewan lain yang bisa menjadi hama antara lain: ular air, kura-kura, biawak dan lingsang. Selain itu juga burung bisa menjadi hama pada waktu pembesaran ikan.
Jika memggunakan teknik pembesaran dengan sistim jala terapung sebaiknya memilih lokasi untuk membesarkan ikan yang letaknya jauh dari pantai, hal ini bertujuan untuk mengindari serangan dari hama penggangu. Pada umumnya kawasan di pinggiran waduk dan danau adalah lokasi yang disukai hama untuk bersarang. Untuk mengindari hal tsb sebaiknya secara rutin membersihkan semak dan belukar yang selalu tumbuh di kawasan lokasi pembesaran ikan.
Hama ikan patin yang berupa burung yang biasa mengganggu antara lain :
–  Burung bangau (Lepto-tilus javanicus)
–  Burung pecuk (Phalacrocorax carbo sinensis)
–  Burung blekok (Ramphalcyon capensis capensis)
Adapun cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan dari burung-burung tsb adalah dengan memberikan tutup pelindung bagian atas pada wadah atau media tempat budidaya dengan mengunakan lembaran-lembaran jaring. Metode seperti ini memberikan 2 keuntungan yaitu selain mencegah burung pengganggu masuk, juga bisa mencegah ikan patin yang sedang dibudidayakan rame-rame lompat keluar.
2)    Merawat Ikan Yang Sakit Akibat Hama Dan Penyakit ikan Patin
Penyakit ikan patin secara umum dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu penyakit yang diakibatkan adanya faktor infeksi dan penyakit yang diakibatkan oleh faktor non-infeksi. Penyakit yang bersifat infeksi biasanya diakibatkan oleh adanya gangguan organism pathogen.
a)      Penyakit ikan patin akibat infeksi
Bakteri, virus dan jamur merupakan organisme pathogen di dalam air yang biasanya menimbulkan infeksi penyakit pada ikan patin. Parasit Ichthyoptirus multifilis (white spot) adalah salah satu organisme pathogen yang biasa menyerang pada waktu pembenihan ikan patin sehingga mengurangi produksi benih karena benih banyak yang mati.
Pada pembesaran ikan patin di jaring terapung hama yang mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung. Hama serupa juga terdapat pada usaha pembesaran patin sistem hampang (pen) dan karamba. Karamba yang ditanam di dasar perairan relatif aman dari serangan hama. Pada pembesaran ikan patin di jala apung (sistem sangkar ada hama berupa ikan buntal (Tetraodon sp.) yang merusak jala dan memangsa ikan. Hama lain berupa ikan liar pemangsa adalah udang, dan seluang (Rasbora). Ikan-ikan kecil yang masuk kedalam wadah budidaya akan menjadi pesaing ikan patin dalam hal mencari makan dan memperoleh oksigen. Untuk menghindari serangan hama pada pembesaran di jala apung (rakit) sebaiknya ditempatkan jauh dari pantai. Biasanya pinggiran waduk atau danau merupakan markas tempat bersarangnya hama, karena itu sebaiknya semak belukar yang tumbuh di pinggir dan disekitar lokasi dibersihkan secara rutin. Cara untuk menghindari dari serangan burung bangau (Lepto-tilus javanicus), pecuk (Phalacrocorax carbo sinensis), blekok (Ramphalcyon capensis capensis) adalah dengan menutupi bagian atas wadah budi daya dengan lembararan jaring dan memasang kantong jaring tambahan di luar kantong jaring budi daya. Mata jaring dari kantong jaring bagian luar ini dibuat lebih besar. Cara ini berfungsi ganda, selain burung tidak dapat masuk, ikan patin juga tidak akan berlompatan keluar.
Penyakit.
Penyakit ikan patin ada yang disebabkan infeksi dan non-infeksi. Penyakit non-infeksi adalah penyakit yang timbul akibatadanya gangguan faktor yang bukan patogen. Penyakit non-infeksi ini tidak menular. Sedangkan penyakit akibat infeksi biasanya timbul karena gangguan organisme patogen.
Penyakit akibat infeksi Organisme patogen yang menyebabkan infeksi biasanya berupa parasit, jamur, bakteri, dan virus. Produksi benih ikan patin secara masal masih menemui beberapa kendala antara lain karena sering mendapat serangan parasit Ichthyoptirus multifilis (white spot) sehingga banyak benih patin yang mati, terutama benih yang berumur 1-2 bulan. Dalam usaha pembesaran patin belum ada laporan yang mengungkapkan secara lengkap serangan penyakit pada ikan patin, untuk pencegahan, beberapa penyakit akibat infeksi berikut ini sebaiknya diperhatikan.
A.      Parasit.
Penyakit white spot (bintik putih) disebabkan oleh parasit dari bangsa protozoa dari jenis Ichthyoptirus multifilis Foquet. Pengendalian: menggunakan metil biru atau methilene blue konsentrasi 1% (satu gram metil biru dalam 100 cc air). Ikan yang sakit dimasukkan ke dalam bak air yang bersih, kemudian kedalamnya masukkan larutan tadi. Ikan dibiarkan dalam larutan selama 24 jam. Lakukan pengobatan berulang-ulang selama tiga kali dengan selang waktu sehari. Kendala yang sering dihadapi adalah serangan parasit Ichthyoptirus multifilis (white spot) mengakibatkan banyak benih mati, terutama benih yang berumur 1-2 bulan. Penyakit ini dapat membunuh ikan dalam waktu singkat. Organisme ini menempel pada tubuh ikan secara bergerombol sampai ratusan jumlahnya sehingga akan terlihat seperti bintik-bintik putih. Tempat yang disukai adalah di bawah selaput lendir sekaligus merusak selaput lendir tersebut.
Jamur.
Penyakit yang disebabkan oleh jamur  biasanya terjadi akibat adanya luka pada badan ikan. Penyakit ini biasanya terjadi akibat adanya luka pada badan ikan. Penyebab penyakit jamur adalah Saprolegnia sp. dan Achlya sp. Pada kondisi air yang jelek, kemungkinan patin terserang jamur lebih besar. Pencegahan penyakit jamur dapat dilakukan dengan cara menjaga kualitas air agar kondisinya selalu ideal bagi kehidupan ikan patin. Ikan yang terlanjur sakit harus segera diobati. Obat yang biasanya di pakai adalah malachyt green oxalate sejumlah 2 –3 g/m air (1 liter) selama 30 menit. Caranya rendam ikan yang sakit dengan larutan tadi, dan di ulang sampai tiga hari berturut- turut.
Bakteri.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri juga menjadi ancaman bagi ikan patin. Bakteri yang sering menyerang adalah Aeromonas sp. dan Pseudo-monas sp. Ikan yang terserang akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Penyakit bakteri yang mungkin menyerang ikan patin adalah penyakit bakteri yang juga biasa menyerang ikan-ikan air tawar jenis lainnya, yaitu Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. Ikan patin yang terkena penyakit akibat bakteri, ternyata mudah menular, sehingga ikan yang terserang dan keadaannya cukup parah harus segera dimusnahkan. Sementara yang terinfeks, tetapi belum parah dapat dicoba dengan beberapa cara pengobatan. Antara lain:
   Dengan merendam ikan dalam larutan kalium permanganat (PK) 10-20 ppm selama 30–60 menit,
   Merendam ikan dalam larutan nitrofuran 5- 10 ppm selama 12–24 jam, atau
   Merendam ikan dalam larutan oksitetrasiklin 5 ppm selama 24 jam.
D.     Penyakit non-infeksi.
Penyakit non-infeksi banyak diketemukan adalah keracunan dan kurang gizi. Keracunan disebabkan oleh banyak faktor seperti pada pemberian pakan yang berjamur dan berkuman atau karena pencemaran lingkungan perairan. Gajala keracunan dapat diidentifikasi dari tingkah laku ikan. Ikan akan lemah, berenang megap-megap dipermukaan air. Pada kasus yang berbahaya, ikan berenang terbalik dan mati. Pada kasus kurang gizi, ikan tampak kurus dan kepala terlihat lebih besar, tidak seimbang dengan ukuran tubuh, kurang lincah dan berkembang tidak normal.
Sumber :
Anonim (1995). Pembesaran Ikan Patin Dalam Hampang (Banjarbaru: Lembar Informasi Pertanian).
Aida, Siti Nurul, dkk. (1992/1993). Pengaruh Pemberian Kapur Pada Mutu Air dan Pertumbuhan Ikan Patin di Kolam Rawa Non Pasang Surut dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar.
Arifin, Zainal, Pengaruh Pakan Terhadap Pematangan Calon Induk Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1992/1993.
Susanto, Heru (1999). Budi Daya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya, 1999 )

Jumat, 19 Januari 2018

Mengenal Kepiting Bakau

Media Penyuluhan Perikanan -
Klasifikasi:
Filum : Arthropoda
Anak Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Bangsa : Decapoda
Suku : Portunidae
Marga : Scylla De Haan, 1833
Spesies : Scylla serrata (Forskal, 1775)
Sinonim : Cancer serratus Forsskål, 1775; Lupa lobifrons H. Milne Edwards, 1834; Achelous crassimanus MacLeay, 1838





Morfologi
Memiliki warna karapas coklat merah seperti karat. Bentuk alur “H” pada karapas tidak dalam. Tidak memiliki sumber pigmen Polygonal. Bentuk duri depan tumpul dan bentuk duri pada “fingerjoint” tidak ada dan berubah menjadi vestigial. Bentuk rambut atau setae hanya terdapat pada hepatic area saja Estampador (1949a) dalam: Siahainenia, 2008.

Habitat dan Penyebaran
Habitat: hampir disemua perairan pantai terutama yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove, estuari dan pantai berlumpur (Moosa, et al., 1985); daerah pasang surut yang berubungan dengan daerah estuari (pesisir), rawa-rawa bakau (payau), muara kawasan mangrove dan bahkan di air tawar serta di bagian yang terlindung dari garis pantai pesisir (Hyland et al., 1984). Spesies ini tinggal di lubang yang digali di dasar berlumpur atau berpasir-lumpur, terutama disaat moulting (ganti kulit) hingga karapasnya mengeras.

Penyebaran: mempunyai sebaran yang sangat luas dan didapatkan hampir di seluruh perairan Indonesia (Pratiwi, 2011).

Status
Belum dilindungi oleh undang-undang RI. Belum masuk list IUCN.

Ancaman
Banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan dijual di restoran-restoran sea food dengan harga tinggi. Untuk kepiting soka (kepiting yang baru molting, berukuran kecil dan berkulit lunak), harganya lebih mahal dari kepiting bertelur. Untuk itu perlu dilindungi untuk kelestarian spesies dan pembatasan pengambilan.
Rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi penghasil utama mengalami penurunan dan cenderung lambat diantaranya Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Riau. Di daerah Maluku Tengah, seperti Teluk Pelita Jaya, Seram Barat juga mengalami penurunan (hasil tangkapan dan ukuran juga kecil), karena kemungkinan adanya degradasi lingkungan dan tangkap lebih (over exploitation) (Siahainenia, 2008, Pratiwi, 2011).

Mengingat pentingnya nilai manfaat ekologi maupun ekonomi yang dimiliki komoditas kepiting bakau, maka masalah penurunan produksi kepiting bakau di alam harus segera diatasi dengan melakukan upaya-upaya pengelolaan, baik melalui tindakan konservasi bagi populasi yang masih stabil, maupun melalui tindakan rehabilitasi (restocking) bagi populasi yang sudah tidak stabil dan perlindungan spesies.

Saran
Perlu dilindungi dengan undang-undang RI. Dimasukkan dalam IUCN Redlist : Vulnerable (VU). Appendix 2, perlu pembatasan ukuran individu yang dipanen. Induk betina bertelur dilarang dipanen.

Sumber :
Ubaidillah, Rosichon. dkk. 2013. BIOTA PERAIRAN TERANCAM PUNAH DI INDONESIA - Prioritas Perlindungan. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau – Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Kamis, 18 Januari 2018

Mengenal Ikan Pari Emas (Terancam Punah)

Media Penyuluhan Perikanan -
Klasifikasi
Himantura polylepis merupakan ikan pari yang berukuran besar dan hidup di perairan tawar, estuaria dan perairan pesisir. Jenis ini sebelumnya dikenal dengan nama H. chaopraya Monkolprasit & Roberts, 1990 berdasarkan deskrispsi ikan pari yang ditemukan di sungai Chao Phraya, Thailand, namun sebelumnya jenis pari yang sama sudah terlebih dahulu dideskripsikan oleh Bleeker tahun 1852 dengan nama Trygon polylepis berdasarkan spesimen pari yang ditemukan di Sungai Ciliwung, Jawa. Last & Manjaji-Matsumoto (2008) akhirnya menvalidasi nama spesies ini sebagai Himantura polylepis (Bleeker, 1852) berdasarkan hasil perbandingan setiap holotype dan material lainnya.
Filum : Chordata
Kelas : Chondrichthyes
Sub–Kelas : Elasmobranchii
Bangsa : Rajiformes
Suku : Dasyatidae
Marga : Himantura
Spesies : Himantura polylepis (Bleeker, 1852)


Morfologi
Bentuk lempeng tubuh membulat dan berujung lancip bagian moncongnya. Bagian punggung berwarna polos coklat atau keabuan dengan deretan dentikel kecil di bagian tengah; bagian perut berwarna putih dengan tepi berwarna gelap; ekor panjang seperti cambuk, berwarna polos dan tidak memiliki selaput kulit; duri sengat terdapat di bagian pangkal ekor dan tidak terdapat duri-duri kecil di sepanjang pangkal ekornya; kedua mata relatif kecil dan tidak menonjol keluar.

Habitat dan Penyebaran
Hidup di dasar perairan tawar, estuaria dan perairan pesisir dengan substrat dasar yang lunak. Di Indonesia, jenis ini ditemukan di beberapa sungai besar seperti Sungai Musi dan Indragiri di Sumatera, serta di DAS Mahakam di Kalimantan Timur, selain itu pernah ditemukan pula di pesisir Palabuhanratu Jawa Barat dan pesisir Tarakan.

Status
Belum dilindungi UU-RI; IUCN – endangered.

Ancaman
Himantura polylepis merupakan ikan pari berukuran besar yang dapat hidup di sungai dan danau, namun tidak jarang ditemukan pula di perairan pesisir. Ukuran ikan ini dapat mencapai lebar hingga 5 meter bahkan lebih, sedangkan ukuran terkecilnya sekitar 40 cm. Seperti halnya ikan-ikan bertulang rawan lainnya, pertumbuhan ikan ini relatif lambat dan jumlah anak yang dihasilkan sedikit. Kemungkinan spesies ini memiliki kemampuan untuk mentoleransi perbedaan salinitas dan berpindah antara air tawar dan payau (amphidromous). Ancaman terhadap populasi ikan pari ini adalah dari tingginya aktifitas antropogenik di daerah aliran sungai hingga ke daerah pesisir (pencemaran, pendangkalan, loging, transportasi) dan adanya usaha penangkapan ikan oleh nelayan baik di perairan sungai maupun pesisir, yang memungkinkan ikan ini ikut tertangkap karena ukurannya yang besar. Jenis ikan pari ini pernah tertangkap hidup-hidup di pesisir Palabuhanratu, Jawa Barat kemudian dipelihara dan bahkan menjadi maskot di Seaworld Jakarta. Keberadaannya di sungai-sungai Pulau Jawa diduga sudah mengalami kepunahan karena banyaknya pendangkalan dan alih fungsi lahan dan pembangunan bendungan. Sedangkan keberadaannya di sungai-sungai Sumatera dan Kalimantan pun diduga semakin terancam karena belum adanya upaya perlindungan terhadap jenis ikan ini.

Saran
Diperlukan adanya upaya perlindungan terhadap pari raksasa Himantura polylepis dan melakukan upaya-upaya peningkatkan kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak melakukan penangkapan terhadap jenis ikan ini ataupun melepaskannya kembali ke alam apabila tidak sengaja tertangkap. Upaya pelestarian yang dilakukan Thailand untuk mengembalikan populasi jenis ikan ini sekiranya perlu ditiru, pemerintah setempat menutup sebagian Sungai Mekong tempat ikan pari ini biasa ditemukan terhadap seluruh kegiatan perikanan dan kegiatan lain yang dapat mengganggu populasi ikan tersebut di alam, hingga jumlah populasinya kembali pulih.

Sumber : Ubaidillah, Rosichon. dkk. 2013. BIOTA PERAIRAN TERANCAM PUNAH DI INDONESIA - Prioritas Perlindungan. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau – Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Rabu, 17 Januari 2018

Proses Produksi Produk Olahan Ikan Kering/Asin

Media Penyuluhan Perikanan - Proses produksi ikan kering dapat dibagi dalam beberapa
tahap yaitu : 1) proses pembersihan ikan, 2) pembelahan/pemotongan, 3) pencucian, 4) penggaraman, dan 5) penjemuran. Pada proses pembersihan, ikan-ikan yang diperoleh dari nelayan dibersihkan dari semua kotoran sehingga yang tersisa adalah ikan yang bersih dari berbagai campuran kotoran. Setelah itu ikan dibelah/dipotong dengan ketebalan/panjang tertentu dan selanjutnya dicuci menggunakan air bersih dan
kemudian diberi garam. Setelah itu barulah dikeringkan menggunakan tenaga matahari. Jika cuaca terik maka penjemuran cukup dilakukan sehari, tetapi jika cuaca mendung maka penjemuan harus dilakukan 2-3 hari. Prinsipnya adalah, ikan hasil olahan tersebut dikeringkan sedemikian rupa sehingga masih memberikan bobot ketika ditimbang.

Proses produksi seperti ini menimbulkan ketergantungan pada alam sangat tinggi. Oleh karena itu, mungkin perlu dipertimbangkan dintroduksi teknologi tepatguna sehingga dapat mengurangi factor alam dalam proses produksi ikan kering.

Alat dan Bahan
1. Alat yang dipergunakan :
Timbangan. Dipakai untuk menimbang ikan dan garam
Ember besar. Dipakai sebagai wadah ikan teri setelah selesai ditimbang/pencucian/tempat penggaraman.
Keranjang . Tempat ikan teri yang akan direbus, keranjang ini digunakan agar ikan teri tidak berserak waktu masuk ke tungku perebusan
Para-para.Digunakan untuk tempat pengeringan/penjemuran
Plastik. Sebagai tempat penyimpanan ikan teri yang sudah dijemur untuk kelompok kemasan kecil
Kardus. Sebagai tempat penyimpanan ikan teri yang sudah diolah untuk kelompok kemasan besar
Sealer. Dipakai untuk menutup plastik
2. Bahan yang dipergunakan:
Ikan segar
Garam




Prosedur Pembuatan Ikan Asin Kering
Penimbangan. Ikan yang akan diproses ditimbang dan ditempatkan dalam keranjang plastik sebelum dicuci.
Pencucian. Pencucian ikan dilakukan dengan air untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang tercampur dengan ikan, menghilangkan darah dan lendir sebanyak dua kali hingga bersih.
Penggaraman. Ikan yang dibersihkan diberi garam sebanyak 3 : 1 antara garam dan berat ikan.
Penirisan. Penirisan dilakukan dengan mengangin-angin ikan teri yang telah direbus dengan alami ataupun dengan bantuan blower/kipas. Pengipasan dapat menurunkan panas pada ikan teri setelah dari perebusan.
Pencucian. Pencucian dilakukan untuk membersihkan garam yang menempel (kualitas warna dan jenis garam tergantung jenis ikan yang akan diproses).
Pengeringan. Pengeringan/penjemuran ikan dapat dilakukan dengan meletakan ikan dalam para-para kemudian dijemur disinar matahari (8-10 jam, tergantung jenis ikan dan cuaca).
Disortasi/seleksi.
Dikemas.

Sumber :
Anonymous. 2013. Pola Pembiayaan UMKM Usaha Pengolahan Ikan Kering di Kota Bengkulu. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bengkulu. Bengkulu

Selasa, 16 Januari 2018

Mengapa Ikan Sakit ?

Media Penyuluhan Perikanan - Pertanyaan ini muncul ketika kita menemukan kejadian yang berbeda dari kondisi ikan yang sehat.  Penyakit pada budidaya ikan merupakan hal yang menakutkan bagi petani.  Karena hasil kerja keras yang dimulai dari persiapan lahan, penebaran benih sampai dengan pemeliharaan yang perlu biaya dan lainnya akan berganti dengan kerugian jika ikan terkena penyakit.  Penyakit ikan terjadi jika ikan (inang), hidup dalam lingkungan perairan yang kurang sesuai untuk kehidupan ikan, tetapi mendukung patogen untuk memperbanyak diri atau berkembang biak.  Ini akan menyebabkan perubahan secara patofisiologi pada organ-organ tubuh ikan.

Timbulnya serangan penyakit ikan di kolam merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara ikan, kondisi lingkungan dan organisme penyakit.  Interaksi yang tidak serasi ini telah menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit.  Jika pertahanan tubuh inang lemah dan patogen yang terdapat dalam tubuh inang banyak, tetapi lingkungan tetap sesuai dan mendukung untuk meningkatkan ketahanan tubuh inang maka penyakit tidak akan muncul karena patogen tidak dapat berkembang biak.

Manusia memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya serangan penyakit pada ikan di kolam budidaya, yaitu dengan cara memelihara keserasian interaksi antara tiga komponen tersebut di atas.  Umumnya wabah penyakit yang menyerang ikan di kolam disebabkan oleh kesalahan manusia dalam mengelola lingkungan kolam.  Sebagai contoh, serangan bakteri dari jenis Enterobacter sp., Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. pada usaha budidaya air tawar di tahun 1980-an yang telah menimbulkan kematian puluhan ton ikan air tawar di Jawa Barat (Rukyani, dkk. 1996). Kasus serangan penyakit yang terbaru adalah timbulnya penyakit Koi Herves Virus (KHV) yang merupakan penyakit virus pada ikan koi dan Ikan mas di Pulau Jawa pada tahun 2002 diakibatkan kelalaian pembudidaya menjaga kebersihan kolam, sehingga keserasian ketiga komponen penyebab penyakit menjadi terganggu.  Infeksi KHV yang bermula terjadi di Pulau Jawa telah menyebar ke Bali, Sumatera dan Kalimantan Selatan.  Bahkan pada tahun 2005, kasus KHV telah menyerang ikan mas pada kegiatan budidaya ikan di danau Toba, yang kemudian diikuti dengan adanya larangan untuk mengirimkan ikan mas ke pulau Sumatera yang merupakan kawasan karantina ikan.

Hubungan antara parasit, ikan (inang) dan faktor lingkungan terhadap terjadinya penyakit (yang disebut Interaksi Tripel) digambarkan dalam diagram Venn pada Gambar di bawah ini.



Mengapa Ikan Sakit ?
Inang dapat berupa ikan atau hewan air lainnya dimana daya tahan tubuh inang terhadap serangan penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : umur dan ukuran, jenis, daya tahan tubuh dan status kesehatan ikan.

Pada kondisi normal, ketiga faktor yaitu ikan, lingkungan dan patogen akan mampu menjaga keseimbangan.  Ikan yang kita budidayakan akan memanfaatkan makanan yang berasal dari makanan yang bermutu, sehingga ikan dapat tumbuh berkembang dengan baik, bereproduksi dalam rangka melanjutkan keturunan, mampu mempertahankan diri dari perubahan lingkungan sekitarnya dengan baik.  Terjadinya serangan penyakit pada ikan merupakan akibat adanya ketidakseimbangan antara ketiga faktor di atas.  Jasad patogen biasanya akan menimbulkan gangguan sehingga terjadi perubahan pada kondisi lingkungan yang mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh ikan (ikan menjadi stress).  Pada ikan yang dibudidayakan penyakit dapat menyerang pada semua ukuran mulai dari benih, ikan konsumsi sampai induk.  Penyakit yang biasa menyerang benih ikan biasanya karena infeksi parasit, sedangkan pada ukuran yang besar biasanya yang menyerang adalah jamur, luka borok, maupun benjolan.

Sumber :
Anonymous. 2012. Hama dan Penyakit Ikan. Materi Penyuluhan Perikanan. Pusat Penyuluhan KP - BPSDMKP. Jakarta

Senin, 15 Januari 2018

Parameter Air Untuk Menentukan Kualitas Perairan

Media Penyuluhan Perikanan - Selain jumlahnya, kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan.  Parameter-parameter air yang biasanya diamati untuk menenetukan kualitas suatu perairan adalah :


Oksigen
Oksigen adalah salah satu faktor pembatas penting dalam budidaya ikan.  Beberapa jenis ikan masih mampu bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen 3 ppm, tetapi konsentrasi minimum yang masih dapat diterima oleh sebagian besar spesies ikan untuk hidup dengan baik adalah 5 ppm.  Pada perairan dengan konsentrasi oksigen di bawah 4 ppm, ikan masih mampu bertahan hidup, akan tetapi nafsu makannya rendah atau tidak ada sama sekali, sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat.  Ikan akan mati atau mengalami stres bila konsentrasi oksigen mencapai nol.

Karbondioksida
Karbondioksida adalah komponen udara yang umum terdapat baik di air maupun di udara.  Gas ini dapat dihasilkan oleh proses respirasi maupun proses penguraian bahan organik.  Meningkatnya konsentrasi gas ini pada wadah tertutup selama pengangkutan ikan merupakan masalah utama di daerah tropis.  Adanya gas karbondioksida terhadap ikan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut di perairan tersebut.  Jika konsentrasi oksigen berada pada tingkat maksimal, pengaruh gas karbondioksida dapat diabaikan.

Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman adalah besaran yang menunjukkan sifat asam atau basa di dalam air tempat hidup.  Nilai optimal pH tergantung dari spesies ikan.  Sebagian besar ikan dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan yang mempunyai derajat keasaman (pH) berkisar antara 5-9.  Untuk sebagian besar spesies ikan air tawar, pH yang cocok berkisar antara 6.5 – 7.5, sedangkan untuk ikan laut adalah 8.3.

Alkalinitas dan Sistem Buffer
Sering dijumpai pH suatu perairan mengalami fluktuasi atau perubahan yang cukup drastis.  Hal ini kurang menguntungkan, sebab akan mempengaruhi kehidupan ikan yang dipelihara.  Fluktuasi atau perubahan nilai pH yang drastis di suatu perairan dapat dicegah apabila perairan tersebut mempunyai sistem buffer yang memadai.  Apabila suatu perairan mengandung mineral karbohidrat, bikarbonat, borat, dan silikat, maka perairan tersebut akan mempunyai pH di atas netral dan dapat mencegah terjadinya penurunan pH secara drastis.

Ammonia
Pada suatu kolam budidaya, peningkatan konsentrasi ammonia dapat terjadi karena pengeluaran hasil metabolisme ikan melalui ginjal dan jaringan insang.  Selain itu, ammonia dalam kolam juga dapat terbentuk sebagai hasil proses dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan atau plankton yang mati.
Ammonia dengan konsentrasi yang tinggi atau melewati batas yang dapat ditolerir ikan dapat menyebabkan terjadinya new tank syndrome yaitu kondisi tidak stabil terhadap perubahan lingkungan. 

Konsentrasi ammonia di bawah 0.02 ppm cukup aman bagi sebagian besar ikan, sedangkan di atas angka tersebut dapat menyebabkan timbulnya keracunan pada ikan.  Disamping itu, peningkatan konsentrasi ammonia dalam suatu media budidaya dapt mempengaruhi aktivitas bakteri, khususnya bakteri penyebab penyakit insang.  Konsentrasi yang rendah tetapi berlangsung dalam waktu lama juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan insang, sedangkan konsentrasi ammonia tinggi (di atas 0.3 ppm) akan mempercepat kerusakan insang, sehingga ikan sulit mengambil oksigen dari lingkungannya.  Efek keracunan ammonia sangat bervariasi, tergantung spesies ikan yang dipelihara, konsentrasi oksigen, pH dan temperatur air. 

Peningkatan konsentrasi ammonia menjadi lebih berbahaya apabila terjadi pada pH tinggi atau konsentrasi oksigen rendah.  Pada umumnya kematian akan terjadi dalam waktu 1- 4 hari.

Temperatur
Temperatur memiliki arti penting terhadap kelangsungan hidup ikan karena temperatur secara langsung berpengaruh pada konsentrasi oksigen terlarut dalam air (DO), konsentrasi nitrit dan metabolisme dalam tubuh ikan.  Setiap ikan mempunyai temperatur tertentu untuk mempertahankan petumbuhan agar tetap normal.  Di luar kisaran temperatur tersebut ikan akan mengalami gangguan, sehingga perlu melakukan adaptasi agar dapat mempertahankan pertumbuhannya tetap normal.  Perubahan temperatur yang terlalu drastis dapat menimbulkan gangguan terhadap laju respirasi, aktivitas jantung, aktivitas metabolisme dan aktivitas lainnya.

Sumber :
Anonymous. 2012. Hama dan Penyakit Ikan. Materi Penyuluhan Perikanan. Pusat Penyuluhan KP - BPSDMKP. Jakarta

Teknik Memijahkan dan Menetaskan Ikan Gurame

Media Penyuluhan Perikanan - Induk dapat dipelihara pada kolam tembok/ tanah, baik secara massal maupun berpasangan dengan sistem sekat. Kolam pemeliharaan induk sekaligus berfungsi untuk kolam pemijahan dengan kepadatan penebaran 1 ekor/m2. Untuk kegiatan pemijahan dapat menggunakan perbandingan induk jantan : betina = 1 : 3-4. Pakan yang diberikan berupa pelet terapung (kadar protein ± 28% sebanyak 2% biomass/hari dan daun sente/talas sebanyak 5% bobot biomass/hari.

Untuk memudahkan induk jantan membangun sarang, kolam induk diberi tempat dan bahan sarang. Tempat sarang berupa keranjang plastik bulat diameter 20-25 cm atau tempat lain yang serupa yang ditempatkan pada kedalaman 10-15 cm dibawah permukaan air. Bahan sarang berupa sabut kelapa, ijuk atau bahan lain yang dapat dibuat sarang yang ditempatkan dipermukaan air sekitar tempat sarang. Ikan jantan yang sudah memijah akan membangun sarang untuk menampung telur dari induk betina. Biasanya, induk jantan memerlukan waktu 1-2 minggu untuk membangun sarang. Pada pemijahan secara massal, dapat disediakan sarang sejumlah induk jantan yang ada dengan jarak antarsarang sekitar 1-2 m. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya persaingan dalam membangun sarang.

Induk gurami akan melakukan pemijahan jika kedua induk siap dan kondisi memungkinkan. Induk jantan akan mencari tempat yang aman dan tenang untuk membuat sarang sebagai tempat menyimpan telur, dengan memungut  bahan sarang  (ijuk, sabut kelapa dll) yang telah dipersiapkan di atas permukaan kolam.
Selanjutnya Sendjaya dan Rizki ( 2002 ) menyatakan, bila sarang sudah siap, induk yang akan memijah saling berkejar-kejaran dan  induk betina akan mengeluarkan telur dalam sarang, kemudian akan dibuahi oleh induk jantan. Sarang yang telah berisi telur dapat ditandai bila pada permukaan air di atas sarang terdapat lapisan minyak, atau dengan cara menusuk sarang dengan lidi. Jika lidi yang ditusukkan mengandung minyak, atau muncul minyak dari dalam sarang ke permukaan air, maka bisa dipastikan sarang tersebut telah berisi telur. Lapisan minyak tersebut berasal dari telur-telur yang pecah. Selain itu sarang yang telah berisi telur biasanya tertutup bahan sarang ( ijuk ) yang dibuat oleh induk jantan, dan induk jantan akan menjaga sarang tersebut. Sarang yang telah berisi telur dipindahkan ke dalam waskom atau ember untuk diambil telurnya dan selanjutnya memindahkan telur ke tempat penetasan.

Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Ikan Gurame
Bila sudah dipastikan bahwa sarang sudah berisi telur, maka sarang dapat dipanen untuk dipindahkan ke tempat penetasan telur. Panen dilakukan dengan mengangkat sarang secara hati-hati ke dalam ember yang berisi air kolam. Penggunaan air kolam dimaksudkan agar kondisi air tidak berubah (sama) untuk mengurangi kematian telur. Penggunaan air yang diambil dari luar kolam dikhawatirkan akan memiliki suhu dan pH yang berbeda dengan tempat sarangnya sehingga faktor lingkungan yang fluktuatif dapat mengakibatkan kematian telur ikan.

Untuk membedakan  telur yang hidup dan mati dapat dilihat dari warnanya. Telur yang hidup berwarna kuning cerah bening atau transparan, telur yag mati/rusak berwarna kusam, kuning muda agak keputih-putihan. Telur mengalami kematian karena tidak dibuahi. Telur tersebut dengan cepat diserang cendawan berwarna putih yang disebut Saprolegnia. Setelah terserang, telur mati akan membusuk dan akan mengganggu perkembangan telur yang hidup ( dapat dilihat pada Gambar 6B).

Telur-telur yang rusak dan mati dibuang, kemudian telur yang hidup diletakkan pada wadah penetasan yang sebelumnya telur telah dihitung jumlahnya (dapat dilihat pada Gambar 6C). Wadah penetasan yang digunakan bisa berupa bak-bak atau ember plastik bervolume 20 liter, paso berdiameter 50 cm yang terbuat dari tanah liat, atau akuarium dengan ukuran 100 x 50 x 40 cm. Kepadatan telur 150-175 butir per liter.

Wadah penetasan ini telah dipersiapkan 1-2 hari sebelumnya dengan diisi air kolam dan air bersih. Ketinggian air disarankan sekitar 20 cm, kemudian diberi larutan methylene blue sebanyak 1 cc/ liter untuk mensucihamakan air di wadah penetasan. Sehari sebelum telur dimasukkan, air dalam bak  penetasan diaerasi terlebih dahulu agar cukup mengandung oksigen. Telur akan menetas dalam waktu 30 – 36 jam.

Gb. Proses Pemindahan Telur

Setelah telur menetas, terbentuk larva yang masih mempunyai kantong kuning telur.  Kuning telur akan habis 10 - 12 hari kemudian dan pada saat itulah larva mulai membutuhkan pakan yang disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Untuk pertama kali, pakan alami sangat baik diberikan pada larva. Fitoplankton dan zooplankton merupakan pakan alami yang dapat diperoleh dengan cara memupuk kolam dengan pupuk kandang, misalnya kotoran ayam pedaging. Pakan selanjutnya yang diberikan pada larva adalah cacing sutera, dapat pula diberikan pelet yang dihaluskan, agar ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan. Menurut Khairuman dan Amri (2003) tingkat penetasan telur dalam wadah terkontrol ( akuarium ) bisa mencapai 90 %.

Sumber :
Halim, Mochamad Abdul. 2011. Budidaya Ikan Gurami. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. Pusat Penyuluhan KP-BPSDMKP. Jakarta

Jumat, 12 Januari 2018

PELUANG BISNIS IKAN SIDAT UNTUK PASAR EKSPOR

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipVbDZw_3_dkrsGVqGfSU99-qts90xQ0pS3bPyY1VtOxPHcNoR3mZwOEi5NHaSH_85HkuP4tJuiXQYsslFhgXpEsZIZu2LPyvowovh9ljQF-IscpJ4Qyq_EqadFJF73n-yI_VMSHScbnY/s1600/bm-image-799472.jpeg

Budidaya ikan sidat mungkin masih kalah populer dengan ikan-ikan jenis lainnya seperti ikan lele, gurame, Ikan mas dan ikan lainnya. Meski demikian potensi bisnis budidaya ikan sidat cukup cerah untuk dicoba. Di dalam negeri ikan sidat memang belum menempati posisi yang bagus, karena harganya sangat mahal tapi di negara Jepang, Taiwan, China dan Hongkong, Ikan Sidat merupakan ikan yang banyak digemari. Selain digemari karena kandungan gizi yang tinggi harga ikan sidat sangatlah fantastis, masakan Ikan sidat di restoran Jepang bisa mencapai 400 ribu satu porsi, sehingga peluang bisnis ikan sidat sangat bagus untuk ditekuni.

Ikan sidat merupakan salah satu kekayaan laut Indonesia, di perairan Indonesia sumberdaya benih Ikan sidat cukup berlimpah. Bentuk ikan sidat mirip dengan belut, namun ukurannya lebih besar. Setidaknya, terdapat empat jenis sidat, yaitu Anguilla bicolor, Anguilla marmorata, Anguilla nebulosa, dan Anguilla celebesensis. Awal mula eksport ikan sidat Indonesia mengandalkan tangkapan dari alam, namun lambat laun budidaya ikan sidat mulai digalakkan.

Ikan sidat sendiri merupakan ikan sejenis belut berkuping , namun bentuknya lebih panjang dan besar. Ada yang mencapai 50 cm. Hidup ikan sidat bisa berada di air asin dan air tawar,saat bertelur ikan sidat membutuhkan lokasi laut dalam sedangkan ketika tumbuh dewasa mereka hidup di air payau dan tawar kondisi ini cocok dengan kondisi alam maritim Indonesia.

Banyak orang yang ngeri melihat ikan sidat karena mirip ular ,tetapi konsumen asing menganggap cita rasa ikan sidat enak dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Harga ikan sidat per kilogram bisa mencapai 300 ribu rupiah.

Menurut data BPPT setiap tahunnya Jepang membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan Ikan sidat dunia, padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun. Data ini menunjukkan peluang usaha eksport ikan sidat yang masih terbuka lebar.

Karena peluang usaha ikan sidat di luar negeri cukup besar sedangkan di dalam negeri kurang diminati, banyak ikan sidat Indonesia yang di jual ke Luar negeri dalam bentuk bibit. Hal ini jelas merugikan pelaku usaha ikan sidat di dalam negeri, karena harga ikan sidat benih dan ukuran konsumsi terpaut cukup jauh. Nilai ikan sidat akan semakin tinggi jika ukuran dan bobotnya semakin besar.

Waktu yang diperlukan di dalam budidaya ikan sidat tergantung ukuran benih yang ditabur. Untuk benih ukuran 200 gram untuk menghasilkan panen ukuran > 500 gram memerlukan waktu maksimal lima bulan.

Tingkat produktivitasnya juga cukup bagus. Untuk satu ton benih, diperkirakan bisa menghasilkan 5 ton ikan sidat. Sekarang, semakin banyak investor yang berkeinginan membudidayakan ikan sidat, sebab, budidaya ikan sidat dipastikan menguntungkan.(Galeriukm).

Sumber:http://sidatmoa.wordpress.com/

Rabu, 10 Januari 2018

PEMBERIAN TANDA PADA IKAN

1. Marking

Marking merupakan pemberian tanda pada tubuh ikan buka berupa benda asing. Tanda yang dimaksud dalam kategori ini adalah pemotongan sirip, pemberian lubang pada tutup insang dan pemberian tato.
2. Tagging
Tagging adalah pemberian tanda pada tubuh ikan dengan membubuhkan benda asing. Benda plastik yang digunakan ialah benda-benda yang tidak mudah berkarat seperti perak, almunium, nikel, plastik, ebonitt, selluloid, dan lain-lain. Pada tag ini dapat diberikan tanggal, nomor seri atau kode lainnya yang dapat memerikan keterangan atau pesan kepada yang menemukan ikan yang telah diberikan tanda tersebut.
Tujuan pemberian tanda pada ikan ialah mengenal kembali ikan yang telah diberi tanda. Kegunaannya antara lain untuk mempelajari:
A. Parameter populasi
– Kepadatan
– Kecepatan mortalitas
– Kecepatan ekploitasi
– Kecepatan recruitmen
B. Kecepatan dan arah ruaya
C. Pertumbuhan dan penentuan umur
D. Tingkah laku
Beberapa pertimbangan dalam pemberian tanda pada ikan ialah:
1. Tujuan pemberian tanda
2. Lama kegiatan
3. Cara pengembalian ikan bertanda
4. Macam dan jumlah ikan yang terlibat
5. Tenaga kerja yang tersedia untuk memberi tanda
Selain itu bebarapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian tanda adalah:
1. Tanda yang diberikan tidak mengganggu pergerakan atau daur hidup ikan tersebut
2. Tanda mudah dikenalai
3. Ikan yang dipasangi tanda bukan merupakan ikan berumur pendek
4. Diusahakan tidak melukai ikan yang berakibat fatal bagi ikan yang ditandai
Sumber:
Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

BUDIDAYA IKAN GURAME

BAB I
PENDAHULUAN

 

1.1   Latar Belakang
Sebagian besar wilayah dunia terdiri atas air yang luas. Ikan merupakan organisme akuatik yang memiliki organ yang komplek dan terdiri atas beberapa organ yang saling bekerja sama melakukan aktivitas hidup. Ikan adalah salah satu hewan yang hidup didaerah perairan dan tergolong hewan berdarah dingin, artinya temperatur tubuhnya mengikuti temperatur air dimana ia berada. Umunya ikan bernafas dengan menghirup udara dari air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil udara dari permukaan air, bila didalam air kekurangan udara. Kecuali pada beberapa genus yang mempunyai kantung udara untuk menghisap oksigen apabila tempat hidupnya didalam lumpur.
Ikan terdapat di daerah perikanan laut dan daerah perikanan darat. Banyak sekali macam ikan yang terdapat di daerah perikanan darat. Ikan tersebut dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu ikan peliharaan, ikan buas dan ikan liar. Ikan merupakan salah satu sumber protein bagi manusia, antara lain ikan gurame (Osphronemus gouramy) merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Cina. Ikan gurame adalah salah satu komoditas yang banyak dikembangkan oleh para petani, hal ini dikarenakan permintaan pasar cukup tinggi.
Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan konsumsi yang sudah cukup dikenal dan banyak diminati di Indonesia. Hal ini karena ikan gurame memiliki kelebihan yaitu rasa daging yang enak, pemeliharaan mudah serta harga relatif stabil. Ikan ini sudah lama dikenal orang dan telah banyak dibudidayakan. Namun usaha-usaha yang dilakukan untuk menunjang ke arah budi daya yang intensif belum banyak dilaksanakan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya pertambahan penduduk yang diiringi dengan semakin meningkatnya kebutuhan protein hewani oleh masyarakat setiap tahunnya maka, perlu adanya peningkatan produksi ikan gurame, maka perlu adanya perluasan pembudidayaan ikan gurame dengan peningkatan produksi ikan secara massal, baik secara kuantitas maupun kualitasnya, sehingga dapat dijadikan sebagai komoditas baru terhadap ikan lain yang biasa dipasarkan.

1.2   Tujuan
Mengetahui dan mempelajari biologi dan morfologi ikan Gurame (Osphronemus gouramy).

1.3   Manfaat
Memperoleh pengetahuan dan wawasan yang lebih tentang ikan Gurame (Osphronemus gouramy).


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Biologi ikan Gurami
A. Klasifikasi ikan
Ikan gurame (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dibudidayakan di kolam dan merupakan ikan asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta salah satu jenis ikan yang senang tinggal diperairan yang tenang, terbenam, dan dalam seperti kolam, rawa, telaga, danau serta waduk (Djuhanda, 1981; Rusdi, 1988).
Klasifikasi ikan gurame adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Labirintichi
Subordo : Anabantoide
Famili : Anabantidae
Genus : Osphronemus
Species : Osphronemus gouramy (Susanto, 1989)

B. Morfologi ikan
Secara morfologi, ikan ini memiliki garis lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi pada rahang bawah. Sirip ekor membulat. Jari-jari lemah pertama sirip perut merupakan benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Tinggi badan 2,0 s/d 2,1 kali dari panjang standar. Pada ikan muda terdapat garis-garis tegak berwarna hitam berjumlah 8 sampai 10 buah dan pada daerah pangkal ekor terdapat titik hitam bulat (Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi, 2002).
Gurame juga memiliki bentuk fisik khas badannya pipih, agak panjang dan lebar. Badan itu tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Mulutnya kecil, letaknya miring tidak tepat dibawah ujung moncong. Bibir bawah terlihat menonjol sedikit dibandingkan bibir atas. Ujung mulut dapat disembulkan sehingga tampak monyong.
Penampilan gurame dewasa berbeda dengan yang masih muda. Perbedaan itu dapat diamati berdasarkan ukuran tubuh, warna, bentuk kepala dan dahi. Warna dan perilaku gurame muda jauh lebih menarik dibandingkan gurame dewasa (Sitanggang dan Sarwono, 2001). Sedangkan pada ikan muda terdapat delapan buah garis tegak. Bintik gelap dengan pinggiran berwarna kuning atau keperakan terdapat pada bagian tubuh diatas sirip dubur dan pada dasar sirip dada terdapat bintik hitam (Susanto, 2001).
Ikan gurame tergolong dalam ordo Labirynthici yang memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut labirin, yaitu lipatan-lipatan epitelium pernapasan yang merupakan turunan dari lembar insang pertama, sehingga ikan dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Adanya alat pernapasan tambahan ini memungkinkan ikan gurami dapat hidip dalam perairan yang kadar oksigennya rendah (Departemen pertanian, 1999).

a. Kebiasaan Hidup
Di alam, gurame mendiami perairan yang tenang dan tergenang seperti rawa, situ, dan danau. Di sungai yang berarus deras, jarang dijumpai ikan gurame. Kehidupannya yang menyukai perairan bebas arus itu terbukti ketika gurame sangat mudah dipelihara di kolam-kolam tergenang.
Walau gurame dapat dibudidayakan di dataran rendah dekat pantai, perairan yang paling otimal untuk budidaya adalah yang terletak pada ketinggian 50 – 40 m diatas permukaan laut seperti di Bogor, Jawa Barat. Ikan ini masih bertoleransi sampai pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut seperti di Banjarnegara, Jawa Tengah. Yang jadi patokan adalah suhu air dilingkungan hidupnya. Suhu ideal untuk ikan gurami adalah 24 – 28 0C (Sitanggang dan Sarwono, 2001).

b. Jenis Ikan Gurame
Peternak gurame membedakan ada 6 macam varietas atau strain gurame berdasarkan daya produksi telur, kecepatan tumbuh, ukuran/bobot maksimal gurame dewasa. Masing-masing adalah Angsa (soang, geese gourami), Jepun (jepang, japonica), Blausafir, Paris, Bastar (pedaging), dan Porselan. Selain 6 strain diatas, berdasarkan warna terdapat gurame Hitam, Albino (putih), dan Belang. Gurame hitam paling banyak dijumpai, sedangkan yang lain jarang. Hal tersebut disebabkan gurame albino dan belang kurang disukai, karena pertumbuhannya yang sangat lambat (Sitanggang dan Sarwono, 2001).
Gurami Angsa/Soang bisa mencapai panjang maksimal 65 cm dengan total berat 6-12 kg. Sedangkan gurame Jepun hanya mampu tumbuh hingga mencapai berat total 3,5 kg dengan panjang hanya 45 cm (Susanto, 1989). Gurame Porselin unggul dalam menghasilkan telur, per sarang mampu menghasilkan 10.000 butir. Gurame ini oleh para pembenih dijuluki top of the pop alias gurami pilihan. Untuk gurame dengan kategori produksi telur kurang adalah gurame Bastar. Per sarang hanya menghasilkan 2.000-3.000 telur, akan tetapi gurame ini memiliki keunggulan yaitu tumbuh lebih cepat dari warietas lainnya.

c. Kualitas Air
Air untuk mengairi komplek kolam harus tersedia setiap saat, kalau perlu tersedia sepanjang tahun. Volume air jangan berlebihan, karena dapat mengakibatkan banjir. Debit air merupakan jumlah air yang mengalir dalam saluran dihitung dengan ukuran liter per detik. Untuk pemeliharaan gurame secara tradisional pada kolam khusus, debit air yang diperkenankan adalah 3 liter/detik, sedangkan untuk pemeliharaan secara polikultur (semi intensif) debit air yang paling ideal adalah antara 6-12 liter/detik (Sitanggang dan Sarwono, 2001). Kehidupan organisme akuatik termasuk ikan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti : suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, derajat keasaman (pH), dan salinitas. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut harus dikendalikan dalam budidaya ikan (Wardoyo, 1981).

d. Pakan Tambahan
Upaya untuk mencarikan pengganti daun-daun yang disukai gurame sekaligus merupakan kunci untuk membongsorkan tubuh gurame, yang dianggap cukup efektif dewasa ini ada dengan menyediakan makanan tambahan yang mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi. Pada kegiatan Kerja Praktek ini ada 3 jenis makanan tambahan, yaitu Pellet, Keong Emas, dan Serangga (Jangkrik).

e. Pellet
Pellet merupakan makanan tambahan bagi gurame yang sudah dikenal. Bahan pembentuk pellet tidak lain adalah campuran dari berbagai bahan makanan seperti tepung ikan, tepung darah, tepung daging, tepung daun, tepung dedak, dan lain sebagainya. Antara bahan yang tinggi kandungan proteinnya dicampurkan dengan bahan makanan yang rendah dengan perbandingan tertentu, sehingga didapatkan kandungan protein seperti yang dikehendaki. Dan bentuk pellet seperti butiran-butiran kapur tulis namun ukurannya lebih kecil.
Keong Emas (Pomacea sp.) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi sawah. Sebagai hewan yang menyukai habitat perairan, maka kehidupan dan pergerakan (mobilitas) keong emas sangat dipengaruhi oleh keadaan air pada habitatnya. Dengan tersedianya keong emas dalam jumlah yang banyak pada alam khususnya pada area persawahan, maka keong emas dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk ikan selain hanya berperan sebagai hama padi
Serangga sebagai makanan tambahan gurame bisa juga memanfaatkan potensi serangga yang suka berkeliaran dimalam hari. Pada kenyataannya, sekalipun gurame termasuk ikan herbivora (pemakan tumbuhan), mereka tidak menolak apabila suatu ketika (tanpa disengaja) ada serangga yang terjatuh ke dalam kolam. Untuk dan karena itulah maka kita bisa memanfaatkan serangga yang banyak disekitar kita sebagai makanan gurame yang murah, namun tinggi kandungan proteinnya.

f. Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit pada budidaya ikan gurame sering menimbulkan kegagalan serta kerugian besar. Adapun beberapa hal yang menyebabkan timbulnya penyakit berupa kesuburan kolam dampak dari pemupukan, makanan, kepadatan ikan yang tinggi serta kualitas air yang buruk (Kabata, 1985).
Hama adalah hewan yang berukuran lebih besar dan mampu menimbulkan gangguan pada ikan. Beberapa pemangsa utama ikan gurame dari jenis hama yang sering ditemukan pada usaha budidaya ikan gurame adalah ular, belut, katak, dan burung pemakan ikan. Dilihat dari jenis pemangsa air menurut Heinz dan Kline (1973), musuh utama ikan gurame terbagi atas ikan liar pemangsa dan beberapa jenis ikan pemelihara. Untuk menghindarai ikan gurame dari ikan-ikan pemangsa, pada pipa pemasukan air dipasang serumbung dan saringan ikan agar hama tidak masuk ke dalam kolam.
Jenis penyakit yang sering mengganggu dalam budidaya ikan gurame adalah penyakit bintik putih (White spot) yang disebabkan jenis protozoa Ichthyopthirius multifilis yang menyerang benih dan induk ikan gurame. Protozoa ini menjadi parasit yang sulit diberantas karena kehadirannya sering kali diliputi oleh lendir yang sulit ditembus oleh larutan obat (Kabata, 1985). Mereka menyerang ikan dibawah selaput lendir ikan yang merupakan benteng pertahanan utama bagi ikan (Kabata, 1985).
Selain itu, jenis penyakit yang juga sering menyerang induk ikan gurame adalah Argulus indicus. Parasit ini tergolong Crustacea tingkat rendah yang hidup sebagai ektoparasit. Menurut Radiopoetro (1983), Argulus indicus menempel pada sirip atau sisik pada induk ikan gurame.

g. Induk Ikan Gurami
Pada ikan gurame perbedaan kelamin jantan dengan betina bisa dilihat dari perbedaan bentuk dahi, warna dasar sirip dada, warna dagu dan kepekaan pangkal ekor (Susanto, 1989).

h. Kolam Pemeliharaan Induk Ikan Gurami
Bila dihubungkan dengan lingkungan hidupnya, ikan gurame merupakan ikan yang senang mendiami badan perairan yang relatif tenang. Kolam sebagai media pemeliharaan ikan gurame juga salah satu hal yang sangat penting. Dalam pemeliharaan induk ikan gurame, keberadaan kolam hendaknya dekat dengan sumber air yang berupa mata air, sungai atau pompa air. Tempat yang paling ideal adalah lembah yang dasarnya mendatar di kaki kedua lereng sungai yang berlenggak-lenggok ditengah dataran (Tim Lentera, 2002).
Sebagai ikan yang senang mendiami perairan yang tenang, keberadaan arus hendaknya tidak terlalu mendominasi. Namun menurut Asmawi (1983), arus dapat digunakan dalam pemeliharaan induk dengan syarat debit airnya tidak terlalu deras. Arus air yang terlalu deras akan mengganggu aktivitas gurame yang memiliki badan pipih, sehingga berenangnya yang memang sudah lambat akan semakin lebih lambat. Gurame yang terganggu ketenangannya akan menjadi stress, marah, dan mengamuk serta mengacak-acak dasar kolam.
Air yang mengalir ke dalam kolam sebaiknya diendapkan terlebih dahulu, karena dikhawatirkan air yang masuk banyak mengandung bahan-bahan atau unsur-unsur kimia yang dapat mengganggu metabolisme ikan serta dapat menyebabkan timbulnya hama dan penyakit pada kolam yang pada akhirnya akan menyerang induk ikan gurame. Selain itu, sumber air yang terlalu banyak mengandung bahan kimia juga akan menganggu keinginan induk ikan gurame untuk memijah.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulakan sebagai berikut :
1.    Tubuh ikan gurame (Osphronemus gouramy) memiliki garis lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi pada rahang bawah. Sirip ekor membulat. memiliki bentuk fisik khas badannya pipih, agak panjang dan lebar. Badan itu tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar.
2.    Habitat ikan gurame di alam mendiami perairan yang tenang dan tergenang seperti rawa, situ, dan danau.
3.    Ikan gurame memiliki 6 macam varietas atau strain berdasarkan daya produksi telur, kecepatan tumbuh, ukuran/bobot maksimal gurame dewasa. Masing-masing adalah Angsa (soang, geese gourami), Jepun (jepang, japonica), Blausafir, Paris, Bastar (pedaging), dan Porselan.berdasarkan warna terdapat Hitam, Albino (putih), dan Belang.
4.    Kehidupan organisme akuatik termasuk ikan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti : suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, derajat keasaman (pH), dan salinitas. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut harus dikendalikan dalam budidaya ikan.
5.    Pakan tambahan bagi ikan gurame adalah pelet, keong mas dan serangga.
6.    Penyakit bintik putih (White spot) yang disebabkan jenis protozoa Ichthyopthirius multifilis yang menyerang benih dan induk ikan gurame.



 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Informasi Teknik Perikanan. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Sukabumi.
Asmawi, S. 1983. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia, Jakarta.
Departemen Pertanian. 1986. Budidaya Gurami. Balai Informasi Pertanian Jawa Barat. Bandung.
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico, Bandung.
Heinz, H. R. and Kline. 1973. Fish Panthology. FFA Publication Inc. West Sylvania Aveneu, Neptune, New Jersey. 512 pp.
Kabata, Z. 1985. Parasit and Diseases Fish Culture in The Tropic. Taylor and Francis, London.
Radiopoetro. 1983. Zoology Vertebrata. Erlangga, Jakarta. 56 pp.
Rusdi, T. 1988. Usaha Budidaya Gurami. Simplek, Jakarta. 73 pp.
Sitanggang, M. dan Sarwono, B. 2001. Budidaya Gurami (Edisi Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta.
Susanto, Heru. 1989. Budidaya Ikan Gurame. Penebar swadaya. Jakarta.
Tim Lentera. 2002. Cermat dan Tepat Memasarkan Gurami. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Wardoyo, S.T. 1981. Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Analisis Dampak Lingkungan, Bogo