Sidat merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk fisik menyerupai belut.
Sidat memiliki warna kulit coklat kehitam-hitaman dan agak memutih pada
bagian perutnya. Sidat juga punya jari-jari sirip yang lunak dan jelas.
Berbeda dengan belut, sidat memiliki sirip dada, punggung dan skip dubur
yang sempurna. Tubuh bersisik kecil-kecil membujur, berkumpul dalam
kumpulan-kumpulan kecil, yang masing-masing kumpulan terletak miring
pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya. Karena adanya
jari-jari sirip yang lunak inilah orang awam lebih suka menyebut sidat
sebagai belut bertelinga daripada nama sebenarnya.
Berikut klasifikasi sidat :
Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Apodes, Famili: Anguillidae
Di Indonesia terdapat kurang lebih tujuh jenis sidat. Dan dari ketujuh jenis sidat tersebut yang paling luas penyebarannya adalah Anguilla marmorata, sedang yang paling sempit daerah penyebarannya adalah Anguilla borneensis (hanya terdapat di Kalimantan Timur dan Sulawesi).
Sidat dikenal sebagai pemangsa yang ganas sebagai ikan air tawar. Dibanding belut, yang suka memangsa berbagai jenis ikan air tawar, sidat jauh lebih ganas karena akan memakan apa saja yang hidup di air. Habitat alaminya adalah di lubuk-lubuk sungai, rawa-rawa dan danau-danau yang berair tawar. Sidat dewasa bisa bertahan sampai bertahun-tahun di perairan tersebut. Tapi usianya bila telah mendekati delapan tahun, sidat akan berenang terus menerus dari daerah pedalaman ke hilir sebagai sidat perak untuk beruaya ke laut dalam kembali.
Di berbagai daerah nama sidat bisa berbeda-beda. Beberapa nama yang dilekatkan antara lain : ikan uling, ikan moa, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, ikan pelus, ikan gateng, ikan lembu, ikan denong, ikan mengaling, ikan Tara, ikan luncah dan sebagainya. Di Indonesia terdapat tak kurang enam jenis sidat, tapi cuma dua macam raja yang sering ditangkap nelayan. Yakni sidat kembang (Anguilla mauritiana) dan sidat anjing (Anguilla bicolor). Kedua sidat ini banyak menghuni aliran-aliran sungai yang jernih dan berbatu-batu. Kedua ikan ini suka berdiam dalam lubang pada cadas-cadas atau di antara sela-sela batu.
Ikan sidat bisa dipancing dengan menggunakan umpan katak, anak ayam atau ikan-ikan kecil. Mata pancingnya harus bestir dan tali yang dipakai harus kuat (jangan dibuat dari benang), karena gigi-gigi ikan sidat sangat tajam dan kuat. Di daerah Pulau Jawa bagian selatan, ikan sidat banyak bersembunyi dan bersarang di bibir tebing sungai yang curam atau lubuk-lubuk sungai yang merupakan gua. Sidat raksasa yang berumur tua ini panjangnya bisa mencapai 90 sampai 150 cm, dengan diameter tubuh tak kurang dari 7,5 cm.
Ikan Sidat Belum BernilaiEkonomi
Sidat masih tergolong Ordo Apoda. Ordo ini masih ada persamaannya dengan bangsa ular, yaitu tidak mempunyai anggota gerak. Dalam Bahasa Latin perkataan "apoda" berasal dari kata "pods" yang berarti kaki, dan "a" yang berarti ingkar atau tidak. Jadi apoda berarti tidak berkaki atau tanpa anggota gerak. Dan ikan yang masih tergolong Ordo Apoda pergerakannya sangat tergantung pada liak-liuk tubuhnya yang licin panjang. Ikan Ordo Apoda juga tidak bersisik. Tapi jenis sidat masih punya sisik-sisik kecil berbentuk panjang, dan tersusun saling tegak lurus pada poros panjangnya. Susunan-susunan sisik ini biasanya membentuk gambar mozaik seperti anyaman bilik. Ikan dari Ordo Apoda lebih banyak yang hidup di laut. Misalnya ikan remang, ikan cunang dan ikan ular boro. Apoda yang merupakan ikan darat cuma belut saja. Sidat meskipun dibesarkan di perairan air tawar. Tapi setelah dewasa dan mau berpijah ikan ini kembali beruaya ke laut dalam.
Ruaya pada ikan ini merupakan masalah yang mendasar, karena merupakan salah satu mata rantai siklus hidupnya dan tidak terlepaskan dari rantai sebelum dan sesudahnya. Yang dimaksud dengan ruaya adalah perpindahan (migrasi) pada ikan untuk mencari tempat hidup atau suasana yang lebih cocok bagi kepentingan ikan bersangkutan. Ruaya ini dilakukan antara lain karena :
Ingin mengadakan pemijahan
Mencari makanan dan menuju daerah pembesaran
Mendapatkan lingkungan hidup baru karena lingkungan hidup yang semula sudah kurang cocok, atau karena sudah terjadi perubahan ekologis pada lingkungan hidupnya yang lama.
Pada sidat (ikan air tawar) ruaya dimaksud untuk mencari tempat pemijahan yang sesuai dan menguntungkan bagi perkembangan telur dan larvanya setelah menetas. Ruaya ini dilakukan dengan berusaha kembali ke daerah asal ketika dilahirkan untuk mengadakan reproduksi (pemijahan). Sebelumnya ikan ini membesar dan hidup dewasa di sungai-sungai, rawa-rawa, dan danau di daerah pedalaman. Dan setelah telurnya menetas menjadi larva, mereka akan berenang menuju sungai-sungai di daerah daratan. Jadi laut bebas (dalamnya kurang lebih 56.000 m) cuma dijadikan sebagai tempat pemijahan saja.
Bagi sidat Eropa yang hidup di sungai-sungai benua tersebut, sewaktu memijah akan berenang menuju Laut Sargasso, dan biasanya dilakukan pada bulan Desember. Perjalanan dari sungai ke laut dilakukan pada malam hari. Selama melakukan perjalanan ikan ini tidak makan apa-apa. Sehingga sewaktu sampai di laut tubuhnya akan berubah kurus, mata membesar, dan warna kulitnya pun berubah. Karena menyusutnya tubuh, kandungan telur lalu kelihatan membengkak besar.
Induk-induk sidat baru bisa matang kelamin, berpijah, dan bertelur di laut yang dalamnya lebih dari 6.000 meter. Berbeda dengan sidat Amerika dan Eropa, yang memilih tempat berbiaknya di Laut Sargasso(Atlantik), maka sidat Jawa dan Sumatera berpijah di Samudera Hindia. Sementara sidat Sulawesi di Lautan Teduh (Pasifik). Selanjutnya larva-larva yang menetas ini akan dibawa ombak menepi ke pan-tai, kemudian ramai-ramai memasuki muara sungai yang payau sebagai impun lubang. Untuk seterusnya akan berenang mudik memasuki sungai tawar, rawa-rawa, danau-danau sebagai ikan buas dan liar. Impun dewasa inilah yang selanjutnya kita kenal sebagai sidat.
Sampai saat ini usaha pemeliharaan sidat baru dilakukan di negara tertentu saja. Di banyak negara budidaya ikan sidat belum bisa dilakukan karena ikan sidat tidak bisa dipijahkan. Tapi di Laboratorium Freshwater Fishpropagation di Universitas Hokkaido (Jepang) ikan sidat ini sudah berhasil diternakkan dalam kolam, berkat diketemukannya hormon ekstrak kelenjar hipofisa yang berasal dari ikan Salmon sebagai donor. Hormon tersebut disuntikkan pada induk sidat yang sudah matang telur di bak pemeliharaan. Suntikan hormon ini telah membantu mendorong kegiatan kelenjar kelamin induk sidat betina yang disuntik, sehingga bisa melepaskan telur-telurnya di air kolam.
Selain suntikan hormon, faktor lain yang sangat menentukan suksesnya percobaan menternakkan sidat tersebut adalah keadaan suhu dan air laut yang diisikan pada kolam perkawinan. Suhu yang dituntut harus bisa dipertahankan seperti suhu permukaan air laut di kedalaman 6.000 m, yakni 18° C sampai saat perkawinan selesai. Kemudian setelah telur-telur menetas, air kolam harus bisa dipertahankan pada suhu 23-25°C.
Dengan diketemukannya teknik pemijahan buatan dan rahasia suhu ini di tahun 1974, para peneliti sudah mengetahui batas-batas untuk menyukseskan penetasan telur dan pembesaran benih sidat hasil perkawinan buatan di kolam pemijahan yang masih percobaan tersebut. Hanya saja rumus makanan buatan untuk larva-larva sidat agar bisa tumbuh normal, rupanya masih harus menunggu waktu lagi.
Ikan sidat di Indonesia belum memiliki nilai ekonomi yang berarti. Adanya anggapan masyarakat bahwa makan ikan sidat bisa menimbulkan bencana, merupakan salah satu penyebabnya. Akibatnya potensi sidat di Indonesia yang sebenarnya sangat berlimpah, seakan-akan menjadi mubazir. Padahal sebenarnya di pasaran Amerika, Eropa, Jepang dan Hongkong ikan sidat memiliki potensi yang tinggi sekali sebagai komoditas perikanan. Di sana ikan ini mempunyai harga komersial yang cukup mahal, dan beberapa negara maju telah membudidayakannya secara intensif.
Syarat-syarat Pemeliharaan Sidat
Pemeliharaan sidat pada prinsipnya tidak berbeda dengan pemeliharaan ikan-ikan kultur yang lain. Faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan sidat adalah :
Air harus bersih dan kaya oksigen
Air yang diperlukan dalam pemeliharaan ikan sidat adalah air bersih dengan jumlah dan volume yang tidak kecil dan dengan kadar oksigen yang terlarut benar-benar tinggi, bahkan harus lebih tinggi dari kadar oksigen yang terlarut dalam air tempat hidupnya di alam bebas.
Dalam kolam pemeliharaan sumber air bisa diperoleh dari aliran sungai, tapi bisa juga mempergunakan air dari sumur artesis. Untuk kolam pemeliharaan dengan daya produksi 20 ton ikan sidat per tahun, diperlukan tak kurang dari 450 m3 air bersih per hari. Dan sebaiknya lokasi pemeliharaan dipilih di tempat-tempat yang banyak dihuni ikan-ikan sidat (misalnya sepanjang pan-tai selatan Pulau Jawa). Banyaknya ikan-ikan liar yang terdapat pada suatu wilayah perairan bisa dijadikan pertanda, bahwa tempat tersebut cukup cocok sebagai tempat pemeliharaannya.
Untuk benih yang telah berukuran 20-30 cm, selain air bersih, bisa juga dipergunakan air keruh (dari aliran sungai), asal tidak tercemar bahan-bahan beracun/pestisida. Air untuk sidat juga harus bersifat basa selain itu lokasi tempat juga perlu diperhitungkan. Pertama jangan merupakan daerah banjir. Kedua, tanah tidak porus atau sarang sehingga air mudah lenyap karena meresap. Sangat bagus kalau pembangunan kolam dipilih tempat yang tanahnya liat berpasir. Ketiga, tempat tersebut juga harus cukup banyak mendapat cahaya matahari guna membantu pertumbuhan plankton sebagai penghasil oksigen dalam air (untuk kolam tergenang). Di samping itu lokasi juga harus cukup mendapat hembusan angin agar setiap saat terjadi aerasi di permukaan kolam.
Lokasi yang paling tepat untuk pemeliharaan sidat adalah daerah di sepanjang pantai. Sedang kolam pemeliharaannya bisa berbentuk kolam tergenang (mirip tambak, kolam empang), lebih baik lagi kalau bisa mengusahakan kolam air deras.
Untuk mengusahakan ikan sidat paling tidak diperlukan empat jenis kolam pemeliharaan, kalau sengaja mau memelihara sejak dari elver (larva) sampai menjadi sidat berukuran konsumsi atau sidat dewasa. Yakni bak elver I, bak elver II, kolam pendederan, dan kolam pembesaran.
Benih ditangkap di alam
Benih pertama yang diperlukan dalam pemeliharaan ikan sidat adalah benih yang telah mencapai tingkat elver. Persediaan benih yang diperlukan pada tingkat ini sekaligus harus banyak. Karena elver yang dipelihara nantinya tidak semua bisa hidup. Sebagian kecil saja yang bisa mencapai ukuran cukup untuk konsumsi atau dipasarkan.
Elver diperoleh dengan cara menangkap benih di alam (muara sungai). Elver merupakan anak ikan yang sangat halus. Penanganannya sangat membutuhkan kehati-hatian, dan dalam pengumpulannya perlu diusahakan jangan sampai tersentuh tangan. Di Indonesia elver ditangkap nelayan dengan mempergunakan gayung. Seorang pencari elver sehari bisa memperoleh 25 kg atau kurang lebih 87.500 ekor. Alat penangkap lain yang juga sering digunakan nelayan untuk menangkap elver adalah jaring halus. Alat penangkap ikan ini dipasang dengan memotong lebar sungai guna menghadang benih-benih kecil ini yang suka ramai-ramai memasuki muara sungai sewaktu terjadi pasang purnama. Selama dua minggu terus-menerus benih-benih ini aktif berenang di perairan dangkal, dan pada siang hari bersembunyi di lumpur atau di bawah batu.
Ukuran elver hasil tangkapan bermacam-macam. Tidak bisa seragam. Besar kecilnya elver sangat tergantung dari jarak pemijahan sang induk dari muara sungai. Elver yang tertangkap di muara sungai yang letak daerah pemijahannya lebih jauh, ukurannya relatif lebih pendek dan lebih kecil dibanding dengan muara sungai yang jaraknya dengan tempat pemijahan lebih dekat. Di Jawa Barat elver sidat yang berwarna bening ini lebih dikenal dengan nama impun. Ikan-ikan lembut kecil ini banyak ditangkap dan dikumpulkan untuk dijadikan teri tawar, teri asin, dan rengginang. Walau sebenarnya ikan teri merupakan jenis ikan tersendiri.
Menurut Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD, 1971) daerah penangkapan elver dan ikan sidat terbesar di muara sungai sepanjang pantai barat dan selatan pulau Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, serta Sulawesi dan Kalimantan yang menghadap ke Banten Selatan, Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Tasikmalaya, Ciamis, Pagelaran, Garut, Banjarnegara, Yogya, Kaloran, Pacitan, dan Temanggung. Daerah penangkapan elver yang utama di Jawa Tengah adalah Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Kulon Progo.
Elver merupakan benih ikan yang sangat halus. Penanganannya memerlukan perawatan yang rumit. Sebagai tempat penampungan hasil tangkapan (bila mau dipelihara lebih lanjut) bisa dipergunakan peti basah atau jaring halus yang diletakkan pada air mengalir. Selanjutnya setelah terkumpul, cepat-cepat dibawa ke kolam pemeliharaan elver. Pada perusahaan-perusahaan perikanan besar (tentu saja di luar negeri), pengangkutan elver mempergunakan tangki logam bermuka licin dengan diberi tambahan oksigen.
Makanan pasta untuk elver
Elver yang baru saja ditangkap seringkali ngambeg tak mau makan. Memang menyusahkan. Tapi biasanya seleranya akan kembali muncul setelah hari menjadi gelap. Sedang makanan yang diberikan siapkanlah dalam jumlah yang memadai dan benar-benar baik kualitasnya. Pemberian makanan dalam jumlah cukup dan bermutu akan sangat membantu kepesatan pertumbuhan dan ketahanannya terhadap penyakit/serangan parasit. Begitu pula jenis makanan yang diberikan juga turut menentukan kualitas dan rasa daging sidat yang diusahakan.
Jenis makanan yang baik adalah yang komposisi kimiawinya hampir mendekati komposisi daging ikan sidat itu sendiri. Atau paling tidak komposisi makanan yang diberikan mengandung bahan-bahan yang paling disukai ikan tersebut di alam. Anak sidat yang baru menetas makanannya berupa mikroplankton. Sedang makanan elver berupa anak kepiting, udang, cacing, kerang, siput dan tanaman air yang masih lembut. Makanan sidat dewasa sudah lain lagi, yakni berupa udang dan anak-anak ikan. Paling banyak sidat liar melahap bangsa udang air tawar (Palaemon sp) dan udang dari keluarga Penaidae. Makanan sidat paling sedikit harus mengandung 50% protein hewani.
Dalam pemeliharaan sidat konsumsi oleh petani ikan di Taiwan dan Jepang, secara tradisional makanan sidat diberikan ikan-ikan kecil (bisa segar atau direbus), cacing sutera, cacing tanah, cacing air dan bagian-bagian potongan moluska/siput. Kepiting juga dipergunakan sebagai bahan makanan yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan badan. Tapi dalam usaha pembesaran dewasa ini telah digunakan makanan buatan yang terbuat dari tepung ikan yang dicampur dengan karbohidrat. Makanan buatan ini memiliki komposisi berupa protein 52%, karbohidrat 25%, air 10%, lemak 4%, dan abu 10%. Untuk vitamin kadar komposisinya bisa berbeda-beda, tergantung temperatur air setempat. Apabila suhu air di bawah 18°C diberikan 5% dari berat makanan. Makanan buatan ini diberikan sebanyak 70% dari jatah konsumsi setiap harinya, sedang sisanya (30%) tetap berupa makanan alami yakni daging ikan.
Ikan sidat makan hanya sekali dalam sehari, yaitu sekitar jam 8-10 malam. Banyaknya makanan yang diberikan adalah 5-10% dari seluruh berat ikan yang dipelihara setiap harinya. Ikan sidat akan berselera sekali makannya pada waktu cuaca cerah, udara berangin dan suhu air agak panas. Tapi kalau hari hujan, langit mendung dan udara berangin legang nafsu makan ikan buas ini agak menurun.
Untuk elver makanan diberikan dalam bentuk pasta, terutama untuk elver yang baru ditangkap. Pasta dibuat dari potongan-potongan daging kerang atau cacing yang telah dilumatkan menjadi bubur dan diletakkan pada cawan yang ditaruh di dasar bak. Untuk mengumpulkan para elver di dekat makanan dinyalakan lampu. Elver tidak akan makan bila suhu air di bawah 13°C. Tapi suhu serendah ini jarang sekali terjadi di Indonesia, kecuali di daerah-daerah berpegunungan tinggi. Namun alangkah baiknya kalau setiap kali suhu air dikontrol, siapa tahu kalau-kalau terjadi kelainan.
Makanan pasta diberikan pada elver yang dipelihara pada minggu pertama dan kedua. Setelah waktu makan habis, sisanya harus diambil dan bak harus bersih dari sisa makanan. Makanan elver pada minggu ketiga dan keempat bukan pasta daging lagi, tapi berupa potongan-potongan daging ikan atau cacing yang telah dicincang. Selanjutnya setelah umurnya menginjak minggu kelima dan keenam sudah bisa diberi potongan-potongan daging ikan atau makanan buatan. Apabila diberi makanan buatan, komposisinya harus diolah sedemikian rupa agar cepat diterima elver. Setelah lewat usia enam minggu, elver sudah terbiasa dengan makanan buatan. Dengan aktifitas makan sekitar sepuluh menit saja.
Suhu menentukan kecepatan tumbuh
Suhu air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sidat. Pemeliharaan ikan ini boleh dikatakan berhasil apabila dalam waktu dua tahun sejak penanaman elver bisa dihasilkan ikan sidat konsumsi berukuran 1,5-2 kg per ekor. Temperatur sangat berpengaruh pula terhadap aktivitas makanannya, hingga sidat memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi pada suhu air antara 23-30°C. Pada suhu tersebut aktivitas makan sidat memang paling baik. Di Indonesia di mana temperatur udara di pantai variasinya berkisar antara 25-31°C, perubahan suhu praktis bukan merupakan masalah.
Menurut penelitian para ahli di Jepang dan beberapa negara Eropa sidat jenis Anguilla japonica, Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata tidak punya nafsu makan pada suhu air di bawah 12°C. Untuk mengatasinya jelas diperlukan pemanasan buatan di kolam-kolam pemeliharaan. Dan ini memerlukan dana yang tidak kecil.
Di Indonesia pemasaran hasil jelas masih merupakan masalah, karena konsumen ikan sidat dalam negeri boleh dikata belum ada. Tapi sebagai bahan ekspor ikan ini pun bisa bersaing dengan belut, apabila benar-benar diusahakan sebagai ikan komersial. Di Taiwan, Jepang, Korea, dan berbagai negara Eropa sidat telah menjadi menu kesayangan yang berharga tinggi
Berikut klasifikasi sidat :
Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Apodes, Famili: Anguillidae
Di Indonesia terdapat kurang lebih tujuh jenis sidat. Dan dari ketujuh jenis sidat tersebut yang paling luas penyebarannya adalah Anguilla marmorata, sedang yang paling sempit daerah penyebarannya adalah Anguilla borneensis (hanya terdapat di Kalimantan Timur dan Sulawesi).
Sidat dikenal sebagai pemangsa yang ganas sebagai ikan air tawar. Dibanding belut, yang suka memangsa berbagai jenis ikan air tawar, sidat jauh lebih ganas karena akan memakan apa saja yang hidup di air. Habitat alaminya adalah di lubuk-lubuk sungai, rawa-rawa dan danau-danau yang berair tawar. Sidat dewasa bisa bertahan sampai bertahun-tahun di perairan tersebut. Tapi usianya bila telah mendekati delapan tahun, sidat akan berenang terus menerus dari daerah pedalaman ke hilir sebagai sidat perak untuk beruaya ke laut dalam kembali.
Di berbagai daerah nama sidat bisa berbeda-beda. Beberapa nama yang dilekatkan antara lain : ikan uling, ikan moa, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, ikan pelus, ikan gateng, ikan lembu, ikan denong, ikan mengaling, ikan Tara, ikan luncah dan sebagainya. Di Indonesia terdapat tak kurang enam jenis sidat, tapi cuma dua macam raja yang sering ditangkap nelayan. Yakni sidat kembang (Anguilla mauritiana) dan sidat anjing (Anguilla bicolor). Kedua sidat ini banyak menghuni aliran-aliran sungai yang jernih dan berbatu-batu. Kedua ikan ini suka berdiam dalam lubang pada cadas-cadas atau di antara sela-sela batu.
Ikan sidat bisa dipancing dengan menggunakan umpan katak, anak ayam atau ikan-ikan kecil. Mata pancingnya harus bestir dan tali yang dipakai harus kuat (jangan dibuat dari benang), karena gigi-gigi ikan sidat sangat tajam dan kuat. Di daerah Pulau Jawa bagian selatan, ikan sidat banyak bersembunyi dan bersarang di bibir tebing sungai yang curam atau lubuk-lubuk sungai yang merupakan gua. Sidat raksasa yang berumur tua ini panjangnya bisa mencapai 90 sampai 150 cm, dengan diameter tubuh tak kurang dari 7,5 cm.
Ikan Sidat Belum BernilaiEkonomi
Sidat masih tergolong Ordo Apoda. Ordo ini masih ada persamaannya dengan bangsa ular, yaitu tidak mempunyai anggota gerak. Dalam Bahasa Latin perkataan "apoda" berasal dari kata "pods" yang berarti kaki, dan "a" yang berarti ingkar atau tidak. Jadi apoda berarti tidak berkaki atau tanpa anggota gerak. Dan ikan yang masih tergolong Ordo Apoda pergerakannya sangat tergantung pada liak-liuk tubuhnya yang licin panjang. Ikan Ordo Apoda juga tidak bersisik. Tapi jenis sidat masih punya sisik-sisik kecil berbentuk panjang, dan tersusun saling tegak lurus pada poros panjangnya. Susunan-susunan sisik ini biasanya membentuk gambar mozaik seperti anyaman bilik. Ikan dari Ordo Apoda lebih banyak yang hidup di laut. Misalnya ikan remang, ikan cunang dan ikan ular boro. Apoda yang merupakan ikan darat cuma belut saja. Sidat meskipun dibesarkan di perairan air tawar. Tapi setelah dewasa dan mau berpijah ikan ini kembali beruaya ke laut dalam.
Ruaya pada ikan ini merupakan masalah yang mendasar, karena merupakan salah satu mata rantai siklus hidupnya dan tidak terlepaskan dari rantai sebelum dan sesudahnya. Yang dimaksud dengan ruaya adalah perpindahan (migrasi) pada ikan untuk mencari tempat hidup atau suasana yang lebih cocok bagi kepentingan ikan bersangkutan. Ruaya ini dilakukan antara lain karena :
Ingin mengadakan pemijahan
Mencari makanan dan menuju daerah pembesaran
Mendapatkan lingkungan hidup baru karena lingkungan hidup yang semula sudah kurang cocok, atau karena sudah terjadi perubahan ekologis pada lingkungan hidupnya yang lama.
Pada sidat (ikan air tawar) ruaya dimaksud untuk mencari tempat pemijahan yang sesuai dan menguntungkan bagi perkembangan telur dan larvanya setelah menetas. Ruaya ini dilakukan dengan berusaha kembali ke daerah asal ketika dilahirkan untuk mengadakan reproduksi (pemijahan). Sebelumnya ikan ini membesar dan hidup dewasa di sungai-sungai, rawa-rawa, dan danau di daerah pedalaman. Dan setelah telurnya menetas menjadi larva, mereka akan berenang menuju sungai-sungai di daerah daratan. Jadi laut bebas (dalamnya kurang lebih 56.000 m) cuma dijadikan sebagai tempat pemijahan saja.
Bagi sidat Eropa yang hidup di sungai-sungai benua tersebut, sewaktu memijah akan berenang menuju Laut Sargasso, dan biasanya dilakukan pada bulan Desember. Perjalanan dari sungai ke laut dilakukan pada malam hari. Selama melakukan perjalanan ikan ini tidak makan apa-apa. Sehingga sewaktu sampai di laut tubuhnya akan berubah kurus, mata membesar, dan warna kulitnya pun berubah. Karena menyusutnya tubuh, kandungan telur lalu kelihatan membengkak besar.
Induk-induk sidat baru bisa matang kelamin, berpijah, dan bertelur di laut yang dalamnya lebih dari 6.000 meter. Berbeda dengan sidat Amerika dan Eropa, yang memilih tempat berbiaknya di Laut Sargasso(Atlantik), maka sidat Jawa dan Sumatera berpijah di Samudera Hindia. Sementara sidat Sulawesi di Lautan Teduh (Pasifik). Selanjutnya larva-larva yang menetas ini akan dibawa ombak menepi ke pan-tai, kemudian ramai-ramai memasuki muara sungai yang payau sebagai impun lubang. Untuk seterusnya akan berenang mudik memasuki sungai tawar, rawa-rawa, danau-danau sebagai ikan buas dan liar. Impun dewasa inilah yang selanjutnya kita kenal sebagai sidat.
Sampai saat ini usaha pemeliharaan sidat baru dilakukan di negara tertentu saja. Di banyak negara budidaya ikan sidat belum bisa dilakukan karena ikan sidat tidak bisa dipijahkan. Tapi di Laboratorium Freshwater Fishpropagation di Universitas Hokkaido (Jepang) ikan sidat ini sudah berhasil diternakkan dalam kolam, berkat diketemukannya hormon ekstrak kelenjar hipofisa yang berasal dari ikan Salmon sebagai donor. Hormon tersebut disuntikkan pada induk sidat yang sudah matang telur di bak pemeliharaan. Suntikan hormon ini telah membantu mendorong kegiatan kelenjar kelamin induk sidat betina yang disuntik, sehingga bisa melepaskan telur-telurnya di air kolam.
Selain suntikan hormon, faktor lain yang sangat menentukan suksesnya percobaan menternakkan sidat tersebut adalah keadaan suhu dan air laut yang diisikan pada kolam perkawinan. Suhu yang dituntut harus bisa dipertahankan seperti suhu permukaan air laut di kedalaman 6.000 m, yakni 18° C sampai saat perkawinan selesai. Kemudian setelah telur-telur menetas, air kolam harus bisa dipertahankan pada suhu 23-25°C.
Dengan diketemukannya teknik pemijahan buatan dan rahasia suhu ini di tahun 1974, para peneliti sudah mengetahui batas-batas untuk menyukseskan penetasan telur dan pembesaran benih sidat hasil perkawinan buatan di kolam pemijahan yang masih percobaan tersebut. Hanya saja rumus makanan buatan untuk larva-larva sidat agar bisa tumbuh normal, rupanya masih harus menunggu waktu lagi.
Ikan sidat di Indonesia belum memiliki nilai ekonomi yang berarti. Adanya anggapan masyarakat bahwa makan ikan sidat bisa menimbulkan bencana, merupakan salah satu penyebabnya. Akibatnya potensi sidat di Indonesia yang sebenarnya sangat berlimpah, seakan-akan menjadi mubazir. Padahal sebenarnya di pasaran Amerika, Eropa, Jepang dan Hongkong ikan sidat memiliki potensi yang tinggi sekali sebagai komoditas perikanan. Di sana ikan ini mempunyai harga komersial yang cukup mahal, dan beberapa negara maju telah membudidayakannya secara intensif.
Syarat-syarat Pemeliharaan Sidat
Pemeliharaan sidat pada prinsipnya tidak berbeda dengan pemeliharaan ikan-ikan kultur yang lain. Faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan sidat adalah :
Air harus bersih dan kaya oksigen
Air yang diperlukan dalam pemeliharaan ikan sidat adalah air bersih dengan jumlah dan volume yang tidak kecil dan dengan kadar oksigen yang terlarut benar-benar tinggi, bahkan harus lebih tinggi dari kadar oksigen yang terlarut dalam air tempat hidupnya di alam bebas.
Dalam kolam pemeliharaan sumber air bisa diperoleh dari aliran sungai, tapi bisa juga mempergunakan air dari sumur artesis. Untuk kolam pemeliharaan dengan daya produksi 20 ton ikan sidat per tahun, diperlukan tak kurang dari 450 m3 air bersih per hari. Dan sebaiknya lokasi pemeliharaan dipilih di tempat-tempat yang banyak dihuni ikan-ikan sidat (misalnya sepanjang pan-tai selatan Pulau Jawa). Banyaknya ikan-ikan liar yang terdapat pada suatu wilayah perairan bisa dijadikan pertanda, bahwa tempat tersebut cukup cocok sebagai tempat pemeliharaannya.
Untuk benih yang telah berukuran 20-30 cm, selain air bersih, bisa juga dipergunakan air keruh (dari aliran sungai), asal tidak tercemar bahan-bahan beracun/pestisida. Air untuk sidat juga harus bersifat basa selain itu lokasi tempat juga perlu diperhitungkan. Pertama jangan merupakan daerah banjir. Kedua, tanah tidak porus atau sarang sehingga air mudah lenyap karena meresap. Sangat bagus kalau pembangunan kolam dipilih tempat yang tanahnya liat berpasir. Ketiga, tempat tersebut juga harus cukup banyak mendapat cahaya matahari guna membantu pertumbuhan plankton sebagai penghasil oksigen dalam air (untuk kolam tergenang). Di samping itu lokasi juga harus cukup mendapat hembusan angin agar setiap saat terjadi aerasi di permukaan kolam.
Lokasi yang paling tepat untuk pemeliharaan sidat adalah daerah di sepanjang pantai. Sedang kolam pemeliharaannya bisa berbentuk kolam tergenang (mirip tambak, kolam empang), lebih baik lagi kalau bisa mengusahakan kolam air deras.
Untuk mengusahakan ikan sidat paling tidak diperlukan empat jenis kolam pemeliharaan, kalau sengaja mau memelihara sejak dari elver (larva) sampai menjadi sidat berukuran konsumsi atau sidat dewasa. Yakni bak elver I, bak elver II, kolam pendederan, dan kolam pembesaran.
Benih ditangkap di alam
Benih pertama yang diperlukan dalam pemeliharaan ikan sidat adalah benih yang telah mencapai tingkat elver. Persediaan benih yang diperlukan pada tingkat ini sekaligus harus banyak. Karena elver yang dipelihara nantinya tidak semua bisa hidup. Sebagian kecil saja yang bisa mencapai ukuran cukup untuk konsumsi atau dipasarkan.
Elver diperoleh dengan cara menangkap benih di alam (muara sungai). Elver merupakan anak ikan yang sangat halus. Penanganannya sangat membutuhkan kehati-hatian, dan dalam pengumpulannya perlu diusahakan jangan sampai tersentuh tangan. Di Indonesia elver ditangkap nelayan dengan mempergunakan gayung. Seorang pencari elver sehari bisa memperoleh 25 kg atau kurang lebih 87.500 ekor. Alat penangkap lain yang juga sering digunakan nelayan untuk menangkap elver adalah jaring halus. Alat penangkap ikan ini dipasang dengan memotong lebar sungai guna menghadang benih-benih kecil ini yang suka ramai-ramai memasuki muara sungai sewaktu terjadi pasang purnama. Selama dua minggu terus-menerus benih-benih ini aktif berenang di perairan dangkal, dan pada siang hari bersembunyi di lumpur atau di bawah batu.
Ukuran elver hasil tangkapan bermacam-macam. Tidak bisa seragam. Besar kecilnya elver sangat tergantung dari jarak pemijahan sang induk dari muara sungai. Elver yang tertangkap di muara sungai yang letak daerah pemijahannya lebih jauh, ukurannya relatif lebih pendek dan lebih kecil dibanding dengan muara sungai yang jaraknya dengan tempat pemijahan lebih dekat. Di Jawa Barat elver sidat yang berwarna bening ini lebih dikenal dengan nama impun. Ikan-ikan lembut kecil ini banyak ditangkap dan dikumpulkan untuk dijadikan teri tawar, teri asin, dan rengginang. Walau sebenarnya ikan teri merupakan jenis ikan tersendiri.
Menurut Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD, 1971) daerah penangkapan elver dan ikan sidat terbesar di muara sungai sepanjang pantai barat dan selatan pulau Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, serta Sulawesi dan Kalimantan yang menghadap ke Banten Selatan, Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Tasikmalaya, Ciamis, Pagelaran, Garut, Banjarnegara, Yogya, Kaloran, Pacitan, dan Temanggung. Daerah penangkapan elver yang utama di Jawa Tengah adalah Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Kulon Progo.
Elver merupakan benih ikan yang sangat halus. Penanganannya memerlukan perawatan yang rumit. Sebagai tempat penampungan hasil tangkapan (bila mau dipelihara lebih lanjut) bisa dipergunakan peti basah atau jaring halus yang diletakkan pada air mengalir. Selanjutnya setelah terkumpul, cepat-cepat dibawa ke kolam pemeliharaan elver. Pada perusahaan-perusahaan perikanan besar (tentu saja di luar negeri), pengangkutan elver mempergunakan tangki logam bermuka licin dengan diberi tambahan oksigen.
Makanan pasta untuk elver
Elver yang baru saja ditangkap seringkali ngambeg tak mau makan. Memang menyusahkan. Tapi biasanya seleranya akan kembali muncul setelah hari menjadi gelap. Sedang makanan yang diberikan siapkanlah dalam jumlah yang memadai dan benar-benar baik kualitasnya. Pemberian makanan dalam jumlah cukup dan bermutu akan sangat membantu kepesatan pertumbuhan dan ketahanannya terhadap penyakit/serangan parasit. Begitu pula jenis makanan yang diberikan juga turut menentukan kualitas dan rasa daging sidat yang diusahakan.
Jenis makanan yang baik adalah yang komposisi kimiawinya hampir mendekati komposisi daging ikan sidat itu sendiri. Atau paling tidak komposisi makanan yang diberikan mengandung bahan-bahan yang paling disukai ikan tersebut di alam. Anak sidat yang baru menetas makanannya berupa mikroplankton. Sedang makanan elver berupa anak kepiting, udang, cacing, kerang, siput dan tanaman air yang masih lembut. Makanan sidat dewasa sudah lain lagi, yakni berupa udang dan anak-anak ikan. Paling banyak sidat liar melahap bangsa udang air tawar (Palaemon sp) dan udang dari keluarga Penaidae. Makanan sidat paling sedikit harus mengandung 50% protein hewani.
Dalam pemeliharaan sidat konsumsi oleh petani ikan di Taiwan dan Jepang, secara tradisional makanan sidat diberikan ikan-ikan kecil (bisa segar atau direbus), cacing sutera, cacing tanah, cacing air dan bagian-bagian potongan moluska/siput. Kepiting juga dipergunakan sebagai bahan makanan yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan badan. Tapi dalam usaha pembesaran dewasa ini telah digunakan makanan buatan yang terbuat dari tepung ikan yang dicampur dengan karbohidrat. Makanan buatan ini memiliki komposisi berupa protein 52%, karbohidrat 25%, air 10%, lemak 4%, dan abu 10%. Untuk vitamin kadar komposisinya bisa berbeda-beda, tergantung temperatur air setempat. Apabila suhu air di bawah 18°C diberikan 5% dari berat makanan. Makanan buatan ini diberikan sebanyak 70% dari jatah konsumsi setiap harinya, sedang sisanya (30%) tetap berupa makanan alami yakni daging ikan.
Ikan sidat makan hanya sekali dalam sehari, yaitu sekitar jam 8-10 malam. Banyaknya makanan yang diberikan adalah 5-10% dari seluruh berat ikan yang dipelihara setiap harinya. Ikan sidat akan berselera sekali makannya pada waktu cuaca cerah, udara berangin dan suhu air agak panas. Tapi kalau hari hujan, langit mendung dan udara berangin legang nafsu makan ikan buas ini agak menurun.
Untuk elver makanan diberikan dalam bentuk pasta, terutama untuk elver yang baru ditangkap. Pasta dibuat dari potongan-potongan daging kerang atau cacing yang telah dilumatkan menjadi bubur dan diletakkan pada cawan yang ditaruh di dasar bak. Untuk mengumpulkan para elver di dekat makanan dinyalakan lampu. Elver tidak akan makan bila suhu air di bawah 13°C. Tapi suhu serendah ini jarang sekali terjadi di Indonesia, kecuali di daerah-daerah berpegunungan tinggi. Namun alangkah baiknya kalau setiap kali suhu air dikontrol, siapa tahu kalau-kalau terjadi kelainan.
Makanan pasta diberikan pada elver yang dipelihara pada minggu pertama dan kedua. Setelah waktu makan habis, sisanya harus diambil dan bak harus bersih dari sisa makanan. Makanan elver pada minggu ketiga dan keempat bukan pasta daging lagi, tapi berupa potongan-potongan daging ikan atau cacing yang telah dicincang. Selanjutnya setelah umurnya menginjak minggu kelima dan keenam sudah bisa diberi potongan-potongan daging ikan atau makanan buatan. Apabila diberi makanan buatan, komposisinya harus diolah sedemikian rupa agar cepat diterima elver. Setelah lewat usia enam minggu, elver sudah terbiasa dengan makanan buatan. Dengan aktifitas makan sekitar sepuluh menit saja.
Suhu menentukan kecepatan tumbuh
Suhu air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sidat. Pemeliharaan ikan ini boleh dikatakan berhasil apabila dalam waktu dua tahun sejak penanaman elver bisa dihasilkan ikan sidat konsumsi berukuran 1,5-2 kg per ekor. Temperatur sangat berpengaruh pula terhadap aktivitas makanannya, hingga sidat memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi pada suhu air antara 23-30°C. Pada suhu tersebut aktivitas makan sidat memang paling baik. Di Indonesia di mana temperatur udara di pantai variasinya berkisar antara 25-31°C, perubahan suhu praktis bukan merupakan masalah.
Menurut penelitian para ahli di Jepang dan beberapa negara Eropa sidat jenis Anguilla japonica, Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata tidak punya nafsu makan pada suhu air di bawah 12°C. Untuk mengatasinya jelas diperlukan pemanasan buatan di kolam-kolam pemeliharaan. Dan ini memerlukan dana yang tidak kecil.
Di Indonesia pemasaran hasil jelas masih merupakan masalah, karena konsumen ikan sidat dalam negeri boleh dikata belum ada. Tapi sebagai bahan ekspor ikan ini pun bisa bersaing dengan belut, apabila benar-benar diusahakan sebagai ikan komersial. Di Taiwan, Jepang, Korea, dan berbagai negara Eropa sidat telah menjadi menu kesayangan yang berharga tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar